'>

Senin, 13 Juni 2011

Kode Iklan Anda disini

ABU SUFYAN BIN HARB


“Sesungguhnya orang-orang yang kafir itu, menafkahkan harta mereka untuk menghalangi (orang) dari jalan Allah. Mereka akan menafkahkan harta itu, kemudian menjadi sesalan bagi mereka dan mereka akan dikalahkan. Dan ke dalam neraka Jahanamlah orang-orang yang kafir itu dikumpulkan. Supaya Allah memisahkan (golongan) buruk dari yang baik dan menjadikan (golongan) yang buruk itu sebagiannya diatas sebagian yang lain, lalu kesemuanya ditumpukkan-Nya dan dimasukkan-Nya ke dalam neraka Jahanam. Mereka itulah orang-orang yang merugi.” (QS. Al Anfaal: 36-37).
Menurut keterangan beberapa ahli tafsir, ayat tersebut diturunkan berkenaan dengan Abu Sufyan bin Harb. Abu Sufyan bin Harb terkenal sebagai salah seorang tokoh Quraisy pada zaman Jahiliah.
Riwayat Hidup
Dia seorang saudagar terkenal, banyak mengenal keinginan pasar. Sebagai tokoh masyarakat Quraisy, ia banyak mengetahui gaya hidup masyarakatnya. Ia juga seperti yang dikatakan banyak orang, antara lain al ‘Abbas bin Abdul Muththalib, senang dipuji dan dibanggakan orang.
Ia dilahirkan sepuluh tahun sebelum terjadinya penyerbuan tentara gajah ke Mekkah. Ia sering memimpin kafilah perdagangan kaum Quraisy ke negeri Syam dan ke negeri ‘ajam (selain Arab) lainya. Ia suka keluar dengan membawa panji para pemimpin yang dikenal dengan ‘Al ‘Uqab. Panji itu tidak dipegang melainkan oleh pemimpin Quraisy. Kalau terjadi peperangan, panji itu pun hanya dipegang olehnya.
Putranya, Mu’awiyah bin Abi Sufyan adalah seorang penulis wahyu. Ia pernah diangkat menjadi gubernur negeri Syam sebelum pemerintahan Khalifah Umar ibn Khaththab. Putrinya, Ramlah binti Abu Sufyan. (Ummu Habibah), adalah istri Rasulullah. Dan termasuk salah seorang dari Ummahaatul Mukminin.
Ummu Habibah, istri Abdullah bin Jahsy, pergi berhijrah ke negeri Habasyah bersama dengan suaminya. Di negeri nun jauh itu tiba-tiba suaminya tergoda masuk agama Nashrani. Karenanya, ia minta cerai. Sesudah berakhir ‘iddahnya, Raja Najasyi memanggilnya seraya berkata kepadanya, “Rasulullah telah menulis surat kepada saya untuk mengawinkan anda dengan beliau”.  Ramlah lalu berkata, “Semoga Allah akan menggembirakan dan membahagiakan Paduka tuan juga.”
Ramlah pun akhirnya menjadi isteri Rasulullah. Ketika Abu Sufyan mendengar berita perkawinan puterinya itu dengan Rasulullah, ia berkata, “Unta jantan ini semoga tidak dipotong hidungnya.”
Abu Sufyan mendengar dakwah yang dikumandangkan Rasulullah dan ternyata dia merupakan orang yang paling gigih melawan dan memeranginya. Dia pernah juga menyertai delegasi kaum Quraisy yang dikirim menemui Abu Thalib, meminta kepadanya supaya mau menyerahkan keponakannya (Muhammad) untuk disembelih oleh mereka, dengan syarat akan menggantikannya dengan seorang pemuda Quraisy lainya yang mereka pandang lebih mendatangkan keberuntungan bagi mereka semua.
Dia juga pernah mengadakan persekutuan jahat dengan pemimpin Quraisy lainnya terhadap Rasulullah  dan kaum muslimin, dengan mendatangkan surat pernyataan memblokade Bani Hasyim, yaitu tidak mengadakan hubungan perkawinan dan jual-beli dengan mereka.
Tiba saatnya Rasulullah dan kaum muslimin pergi berhijrah ke Madinah. Ternyata, kaum muslimin hidup aman dan berbahagia di negeri yang tentram ini.
Pada suatu saat, Rasulullah mengetahui bahwa Abu Sufyan sedang dalam perjalanan dari Syam ke Mekkah, memimpin kafilah dagang kaum Quraisy, kaum yang selama lebih dari sepuluh tahun telah menyiksa dan menyengsarakan mereka, yang telah mengusir mereka keluar dari negerinya dan juga merampas harta kekayaannya. Abu Sufyan sendiri terlibat dalam perbuatan jahat dan keji itu.
Rasulullah memberitahukan hal itu, terutama kepada kaum Muhajirin, “Kafilah dagang Quraisy di bawah pimpinan Abu Sufyan segera akan melintasi daerah kita. Marilah kita keluar mencegatnya. Barangkali Allah akan menggantikan apa-apa yang telah mereka rampas dari kita dahulu.”
Ketika tiba di perbatasan Hijaz, Abu Sufyan mulai dirundung firasat tidak enak. Ia selalu bertanya kepada setiap orang atau kafilah yang datang dari jurusan Madinah dengan perasaan was-was dan takut. Akhirnya ia mendengar dari salah satu sumber yang meyakinkan bahwa Muhammad telah mengerahkan orang-orangnya untuk mencegat kafilah yang dipimpinnya.
Abu Sufyan lalu membayar seorang kurir untuk mengirimkan kabar tentang hal itu ke kota Mekkah, namanya Dhamdham bin Amru al Ghifari. Dalam pesannya itu, ia berharap supaya kaum Quraisy mengirimkan pasukannya untuk melindungi kafilah yang dipimpinnya dari serangan Muhammad dan para sahabatnya.
Ternyata diluar dugaan, Abu Sufyan berhasil menempuh jalan keluar dari kepungan Nabi Muhammad. Ia segera mengirim kurir yang lain untuk menemui kaum Quraisy yang hendak  melindungi kafilahnya. Ia berkata, “Kalian keluar untuk menyelamatkan kafilah, harta, dan orang-orang kalian. Kini, semuanya itu sudah diselamatkan oleh Allah. Kami harap kalian segera kembali ke Mekkah”.
Abu Jahal berkata kepada anggota pasukannya , “Demi Allah, kami tidak akan kembali hingga sampai ke Badar. Disana, kami akan berdiam tiga hari tiga malam, bersuka ria, memotong ternak, makan-makan, minum-minuman keras, dan wanita menyanyi dan menari agar  bangsa Arab mendengar dan mengetahui perjalanan dan berkumpulnya kami, dan senantiasa menakuti kami. Ayo jalan terus!”
Terjadilah peperangan di Badar antara pasukan yang dipimpin Rasulullah dan pasukan yang dipimpin Abu Jahal. Dalam peperangan itu, Abu Jahal dan banyak tokoh Quraisy lain tewas, dan banyak juga yang tertawan. Diantara yang tertawan itu adalah Abul ‘Ash bin ar-Rabi’, suami Zainab binti Rasulullah. Kaum Quraisy mengirimkan tebusan untuk pembebasan para tawanannya, sedangkan Zainab binti Rasulullah mengirimkan liontin pemberian ibunya, Khadijah binti Khuwalid.
Setelah Rasulullah melihatnya, lalu ia bersabda kepada para sahabatnya dengan penuh haru, “Kalau kalian ridha melepaskan tawanannya dan mengembalikan hartanya, silahkan.”
Mereka menyambutnya, “Baiklah, ya Rasulullah.”
Rasulullah meminta janji Abul ‘Ash bahwa ia akan melepaskan putrinya, Zainab, pergi ke Madinah. Untuk itu, Rasulullah telah mengirimkan Zaid bin Haritsah dan seorang lainnya dari orang Anshar untuk mengawalnya. Rasulullah bersabda kepada orang itu, “Kalian berdua hendaklah menunggu kedatangan Zainab di Lembah Ya’jaj kemudian menyertainya hingga datang ke sini”.
Sesudah Abul ‘Ash tiba di Mekkah, ia langsung memerintahkan Zainab (isterinya) pergi ke Madinah untuk menyusul ayahnya. Sesudah keberangkatannya dipersiapkan, ia meminta kepada saudaranya, Kinanah bin ar-Rabi’, untuk mengawal keberangaktan isterinya itu. Kinanah berangkat  di siang hari dengan mengendarai unta, membawa panah dan busurnya, sedangkan Zainab di atas haudaj.
Keluarnya Zainab ini sempat membuat ketegangan di kalangan kaum Quraisy yang baru kalah perang di Badar. Mereka mengejarnya dan berhasil menyusulnya di suatu tempat yang bernama Dzi Thuwa. Orang yang pertama berhasil mengejarnya ialah Hubar bin al Aswad bin Abdul Muththalib bin Ased.
Kinanah dengan cekatan menghadang Hubar seraya berkata, “Demi Allah, jangan ada yang mendekati kami. Kalau tidak, aku tidak ragu-ragu melepaskan panahku ini”. Orang-orang pun menjauh darinya.
Tak lama setelah itu, Abu Sufyan datang dengan rombongannya hendak melerai kedua rombonga itu. Ia berkata: “Kinanah. Masukkanlah anak panahmu. Kami akan berbicara denganmu”. Ia pun lalu memasukkan anak panahnya ke sarungnya.
Abu Sufyan lalu  menasehatinya, “Kamu tidak tepat membawa keluar wanita itu di siang hari, padahal kamu tahu benar apa yang telah dilakukan Muhammad terhadap tokoh kita di Badar baru-baru ini. Dengan mengeluarkan putrinya di siang hari dari tengah-tengah kita, akan menimbulkan  anggapan pada masyarakat bahwa kita melakukannya dalam keadaan hina dan lemah. Kami tidak berkepentingan untuk memisahkannya dari ayahnya, namun kami ingin wanita itu dibawa dahulu ke Mekkah, sampai suara-suara yang membicarakan kekalahan perang di Badar itu usai, barulah kamu membawanya keluar secara diam-diam.
Kinanah membawa Zainab kembali lagi ke Mekkah. Sesudah beberapa malam, ketika pembicaraan Quraisy tentang kekalahannya sudah mulai mereda, barulah ia membawa keluar dengan diam-diam dan menyerahkannya kepada Zaid bin Haritsah dan rekannya itu.
Dalam keadaan seperti itu, Abu Sufyan telah bertindak bijaksana sekali hingga dapat mengekang amarah kaum Quraisy yang sedang berkobar-kobar dan sekaligus berhasil juga memenuhi keinginan Rasulullah untuk mengirimkan putrinya ke Madinah.
Belum setahun dari kekalahanya di Badar, kaum Qurasiy telah berhasil mengarahkan kabilah-kabilah yang ada di sekitar Mekkah untuk emerangi Muhammad. Barang dagangan dari kafilah yang berhasil diselamatkan dari akum muslimin dahulu itu diapakai sebagai modal utama untuk membiayai peperangan yang akan mereka lancarkan. Pasukan dipimpin oleh Abu Sufyan sendiri. Ia Keluar dengan isterinya, Hindun binti Utbah.
Ternyata, dalam peperangan itu, kaum Quraisy meraih kemenangan karena pasukan panah kaum muslimin melanggar perintah Rasulullah untuk tidak meninggalkan kedudukannya di atas Bukit Uhud. Allah ingin memelihara kaum muslimin yang akan mengemban tugas menyebarkan agama-Nya ke seluruh penjuru dunia, agar mereka senantiasa bersatu padu, tidak bercerai berai, dan selalu kompak dan patuh pada perintah pimpinannya.
Sesudah peperangan usai, Abu Sufyan naik ke atas puncak Gunung Uhud seraya berteriak dengan suara keras, “Peperangan berakhir dengan seri, perang Badar dengan perang Uhud. Pujalah Dewa Hubal, agamamu telah menang.”
Rasulullah bersabda, “Wahai Umar, jawablah mereka dan katakanlah, ‘Allah Maha Agung. Mayat orang-orang kami di surga dan mayat orang-orang kalian di api neraka”. Sesudah Umar menjawab pertanyaannya, Abu Sufyan berkata kepadanya, “Wahai Umar, mari Anda ke sini.”
Rasulullah memerintahkan kepada Umar, “Hampirilah, Umar. Apa maunya?” Umar pergi menghampirinya, lalu Abu Sufyan bertanya, “Saya mohon kepadamu, wahai Umar apakah pasukan kami telah membunuh Muhammad?” Umar menjawab, “Demi Allah, tidak. Dia mendengar bicaramu itu hingga kini”.
Ia lalu berkata dengan tegas, “Saya lebih percaya kepadamu daripada Ibnu Qamiah, yang mengatakan ia telah berhasil membunuh Muhammad.” Sewaktu ia akan kembali pulang, Abu Sufyan mengatakan lagi, “Kita akan bertemu lagi di tahun yang akan datang di Badar”.
Rasulullah memerintahkan salah seorang sahabat untuk menjawab tantangan Abu Sufyan itu, “Katakanlah kepadanya, kami akan sambut tantanganmu.”
Abu Sufyan kembali dengan pasukannya. Di tengah jalan, ada seorang yang berkata kepada mereka, “Kita memang telah membunuh banyak pimpinan tertinggi kaum muslimin. Akan tetapi, mengapa kita tidak menumpas sisa-sisanya agar tidak memberikan kesempatan hidup lagi kepada mereka?”
Abu Sufyan termakan oleh pendapat itu. Akan tetapi, belum sempat ia memutar kepala kudanya, ia melihat Ma’bad bin Ma’bad al Khuza’i datang dari arah uhud. Abu Sufyan lalu bertanya kepadanya, “Ada kabar apa, wahai Ma’bad?” Ia menjawab, “Muhammad dan kawan-kawanya sedang mengejar-ngejar kalian dengan pasukan yang tiada taranya. Orang-orang yang tidak ikut berperang bersamanya, kini sedang berkumpul dan menyesali diri. Mereka dengan perasaan marah akan mengejar kalian dan membalas dendam atas kekejaman yang derita kawan-kawannya”.
Abu Sufyan mengigil ketakutan. Ia bertanya, “Celaka, Apa katamu?” Ma’bad berkata lagi, menegaskan, “Menurut pendapat saya, sebaiknya kalian cepat-cepat pulang kembali.” Abu Sufyan berkata kepadanya, “Sesungguhnya kami berniat akan kembali dan menumpas sisa tokoh mereka yang masih hidup”. Ma’bad menasehati  mereka, “Saya menasehatimu, janganlah Anda melakukannya.” Setelah mendengar nasihat Ma’bad, mereka cepat-cepat kembali pulang ke Mekkah.
Abu Sufyan telah mengerahkan pasukannya dan mendatangkannya untuk menyerang kaum muslimin di Uhud. Dia juga telah bertindak sebagai panglima tertinggi dalam peperangan ini sehingga banyak sahabat pilihan Rasulullah yang tewas karenanya, bahkan ia telah berjanji akan melancarkan serangan lagi tahun depan. Lalu, apa yang mungkin dilakukan sedangkan kekayaan, perlengkapan, dan pasukan mereka tidak terbilang banyaknya?
Memang Abu Jahal, Umayyah bin Khalaf, dan Abu Lahab sudah tewas. Kalau Abu Sufyan termasuk orang yang tewas juga tentu keadaan akan berubah jauh, tentu banyak orang yang menganut Islam dengan terang-terangan.
Rasulullah bermusyawarah dengan para sahabatnya tentang Abu Sufyan. Ternyata banyak diantara mereka yang memberikan saran supaya dibunuh saja. Ia bertanggung jawab atas tewasanya para sahabat pilihan di medan Uhud. Jadi, kalau ia di bunuh, ini hanya merupakan qishas semata-mata, bukan suatu tindakan kejahatan. Rasulululah puas atas hasil musyawarah itu. Akhirnya, Rasulullah memutuskan untuk mengirimkan Amru bin Umayyah ad Dhamri dan seorang dari golongan Anshar pergi ke Mekkah untuk membunuh Abu Sufyan.
Kedua orang itu pergi memenuhi perintah Rasulullah.
Amru menceritakan misinya, “Saya keluar bersama rekan saya yang kurang sehat. Saya membawanya diatas untaku hingga mencapai Lembah Ya’jaj, tidak jauh dari Mekkah.
Aku berkata kepada rekanku, ‘Kita tinggalkan unta kita disini dan kita pergi mencari Abu Sufyan dan membunuhnya. Kalau kamu melihat sesuatu yang mengkhawatirkan, cepat-cepat pergi ke tempat unta itu dan kembali menemui Rasulullah dan ceritakan apa-apa yang telah terjadi kepadanya, tidak usah memikirkan aku. Kami memasuki kota Mekkah. Aku menyandang sebilah Khanjar (belati). Aku sengaja persiapkan kepada siapa-sapa saja yang menghalang-halangiku. Rekanku berkata kepadanya, ‘Apakah tidak sebaiknya kita Thawaf dahulu dan Shalat dua rakaat?’ Saya menjawabnya, ‘Biasanya penduduk kota Mekkah duduk-duduk di halaman  rumah mereka dan saya mengenali mereka’.
Kami memasuki Baitullah, lalu kami thawaf dan shalat dua raka’at disana, kemudian kami keluar dan melewati tempat mereka duduk-duduk. Ternyata, sebagian dari mereka mengenaliku, lalu berteriak sekeras-kerasnya, itu Amru bin Umayyah’.
Penduduk kota Mekkah keluar mengejar kami dan berkata, ‘Dia tidak datang melainkan utnuk melakukan suatu kejahatan’.
Aku berkata kepada rekanku, ‘Selamatkan dirimu.’ Kami melarikan diri keatas gunung, lalu memasuki sebuah gua. Kami bermalam dua hari dua malam disana, menunggu keadaan tenang. Tiba-tiba Utsman bin Malik dengan menunggang kuda ada di pintu goa. Saya keluar dan menikamnya dengan khanjarku. Dia berteriak dengan sekeras-kerasnya sehingga penduduk Mekkah datang menghampirinya, sedangkan saya kembali bersembunyi. Mereka menemukannya sudah dalam keadaan sekarat. Mereka bertanya kepadanya, ‘Siapa yang menikammu?’
Dia menjawab, ‘Amru bin Umayyah,’ lalu ia menghembuskan napas terakhirnya dan tak sempat memberitahukan kepadanya tempat persembunyianku. Kini mereka disibukan mengurusi mayatnya  sehingga tidak sempat mencari tempat persembunyianku. Aku tinggal di gua itu dua hari lagi sampai keadaan menjadi benar-benar tenang.
Setelah itu, kami keluar menuju Tan’im, suatu tempat yang tidak jauh dari Mekkah. Disana, saya menemukam mayat Khubaib tergantung diatas sebuah kayu, disekitarnya terdapat beberapa orang pengawal. Saya menurunkan mayatnya, lalu memanggulnya. Belum sampai empat puluh langkah dari tempatnya, mereka sadar dan mengejar saya. Saya meletakkan mayat Khubaib dan melarikan diri, sampai mereka tidak mengejarku lagi. Adapun rekanku telah kembali dengan mengendarai untanya dan menceritakan apa-apa yang dilihatnya kepada Rasulullah mengenai mayat Khubaib, sejak saat itu tidak terlihat lagi, seolah-olah telah di telan bumi”.
Dikisahkan bahwa Abu Sufyan berkata kepada Khubaib ketika hendak dibinihnya, “Ya Khubaib, maukah kau kalau  menggantikan tempatmu sekarang, akan kami penggal batang lehernya sedangkan aku duduk dengan keluargaku.”
Abu Sufyan terheran-heran, “Belum pernah aku melihat ada seseorang yang mencintai seseorang lebih dari sahabat Muhammad mencintai Muhammad.” Dia pun lalu dibunuhnya.
Sudah menjadi takdir Allah bahwa Abu Sufyan tidak mati terbunuh. Misi ‘Amru bin Umayyah gagal untuk membunuhnya. Abu Sufyan hidup dan berkesempatan untuk mengerahkan para kabilah Arab untuk memerangi Rasulullah. Kali ini, ia bertujuan untuk menyerang kota Madinah. Rasulullah mencium rencana jahat mereka, lalu baginda memerintahkan kaum muslimin untuk menggali parit sesuai dengan saran Salman al Farisi. Begitu parit itu selesai digali, pasukan Quraisy dibawah pimpinan Abu Sufyan tiba, tetapi mereka tidak berhasil menerobos kota Madinah. Mereka mendirikan perkemahannya di luar parit itu. Pada saat itu, kaum muslimin menghadapi musuh baru dari Madinah yaitu kaum Yahudi. Pada waktu itu Huyai bin Ahthab datang menemui Ka’ab bin Asad, pimpinan baru Quraizhah. Dia sudah mengadakan perjanjian dengan Rasulullah atas nama kaumnya. Ia lalu menutup pintu bentengnnya dan tidak memberi izin kepada Huyai untuk memasukinya, seraya berkata, ‘Kau seorang yang sial. Saya sudah mengadakan perjanjian dengan Muhammad dan ternyata dia tetap setia dengan perjanjiannya itu”.
Huyai menjawab, “Wahai Ka’ab, saya datang membawa berita gembira dan kemuliaan abadi. Saya datang kepadamu dengan membawa pimpinan Quraisy dan Ghathafan. Mereka sudah berjanji kepadaku untuk tidak akan meninggalkan negeri ini sebelum menumpas Muhammad dan para sahabatnya”.
Ka’ab menjawab, “Kalau begitu, kau telah mengundang kehinaan abadi.” Celaka kau, wahai Huyai, biarkanlah aku bersama dengan Muhammad!” Akan tetapi, Huyai tidak membiarkan Ka’ab melepaskan diri dari cengkramanannya, sampai ia mau melanggar perjanjian yang telah dibuat dengan Rasulullah. Dia mengadakan perjanjian dengan Huyai, “Kalau sampai Quraisy dan Ghathafan kembali dan tidak berhasil menumpas Muhammad, saya akan berjanji memasuki bentengmu dan hidup senasib dengan kau.”
Pada saat itu, kaum muslimin menderita ketakutan yang luar biasa  karena  harus menghadapi dua front: Quraisy dan Ghathafan dari luar serta Yahudi Bani Quraizhah dari dalam, seperti yang dilukiskan dalam Al Qur’an: “(Yaitu) ketika mereka datang kepadamu dari atas dan dari bawahmu, dan ketika tidak tetap lagi penglihatan (mu) dan hatimu naik menyesak sampai ketenggorokan dan kamu menyangka terhadap Allah dengan bermacam-macam purbasangka. Di situlah diuji orang-orang mukmin dan digoncangkan (hatinya) dengan goncangan yang sangat.” (QS. Al Ahzab: 10-11).
Malapetaka ini terjadi karena lebih dari dua puluh malam, kedua pasukan yang sudah berhadapan itu tidak dapat berbuat selain menggunakan panahnya  masing-masing. Tiba-tiba Nu’aim bin Mas’ud al Asyja’i datang menemui Rasulullah  dan berkata, “Wahai Rasulullah, aku ini sudah masuk Islam, tetapi kaumku belum ada yang tahu. Perintahlah aku sesuka hatimu”. Rasulullah menjawab, “Kamu hanya sendirian. Lakukanlah apa yang mungkin kamu lakukan untuk menyelamatkan kami karena peperangan itu tipu daya”.
Nu’aim  lalu pergi menemui tokoh-tokoh bani Quraizhah. Kebetulan di zaman jahiliyyah, mereka bersahabat . Nu’aim berkata kepada mereka, “Kalian sudah mengetahui hubungan baik antara aku dan kalian”. Mereka menjawab, “Memang, kami tidak mempunyai kecurigaan sedikitpun terhadapmu”. Lalu, sambungnya lagi, “Kalian telah membela Quraisy dan Ghathafan melawan Muhammad padahal mereka tidak senasib dengan kalian. Negeri ini adalah tanah airmu; disana terdapat kekayaan, anak-anak, dan isteri-isterimu, dan kalian tidak mungkin bisa meninggalkan semua itu, sedangkan Quraisy dan Ghathafan, kalau mereka melihat kemenangan, mereka akan ribut, kalau mereka melihat lain dari itu, mereka akan melarikan diri ke negeri mereka dan meninggalkan kalian menjadi makanan empuk Muhammad dan kalian pasti tidak akan sanggup melawannya. Janganlah kalian memeranginya sebelum kalian mendapat jaminan dari tokoh-tokoh mereka agar kalian yakin bahwa mereka tidak akan meninggalkan kalian sebelum mereka berhasil menumpas Muhammad”. Mereka menjawab, “Sungguh, nasihatmu itu tepat sekali.”
Kemudian Nu’aim pergi menemui Abu Sufyan dan tokoh Quraisy lainya, seraya berkata, “Kalian sudan mengetahui hubungan baikku dengan kalian dan kerengganganku dengan Rasulullah. Saya mendengar bahwa Bani Quraizhah menyesali tindakannya dan mereka telah mengirim delegasi kepada Muhammad dan menanyakan, ‘Apakah Anda mau menerima kalau kami  meminta jaminan tokoh-tokoh Quraisy dan Ghathafan, kemudian kami serahkan kepada Anda untuk dipenggal batang leher mereka, kemudian kami dan anda memperkuat persahabatan yang telah ada?” Tampaknya, tawaran mereka itu diterima baik. Jadi, kalau mereka meminta jaminan tokoh-tokoh kalian, janganlah kalian memenuhinyya meskipun hanya seorang saja”.
Nu’aim  lalu pergi menemui pimpinan Ghathafan dan berkata, “Kalian terbilang keluarga dan familiku sendiri”. Ia lalu memperingatkan  mereka seperti yang disampaikan kepada pimpinan Quraisy. Begitu Nu’aim pergi, Abu Sufyan mengirimkan delegasinya dibawah pimpinan Ikrimah bin Abu Jahal untuk menemui pimpinan Bani Quraizhah, seraya berkata kepada mereka, “Kami tidak bisa berlama-lama di sini. Kita harus segera melancarkan peperangan untuk menumpas Muhammad”.
Ternyata jawaban mereka persis seperti yang dikatakan Nu’aim, “Kami tidak bersedia berperang bersama dengan kalian kecuali kalau kalian mau  memberi jaminan yang meyakinkan kepada kami. Kami khawatir, kalian akan segera kembali ke negeri kalian dan membairkan kami menjadi umpan Muhammad sedang kami berada di negerinya”.
Delegasi Ikrimah kembali dari perkampungan Bani Quraizhah  dengan tangan hampa. Ia menyampaikan kepada Abu Sufyan semua yang didengarnya. Lalu, sambut Abu Sufyan, “Demi Allah benar sekali apa yang dikatakan  Nu’aim bin Mas’ud.”
Abu Sufyan lalu mengirimkan jawaban tegas kepada Bani Quraiszah, “Demi Allah kami tidak akan menyerahkan tokoh-tokoh kami seorangpun juga.” Berkata tokoh Bani Quraizah yang menerimannya, “Sungguh tepat apa yang dikatakan Nu’aim bun Mas’ud kepada kami”.
Allah mengacau-balaukan rencana jahat mereka, sementara itu, ke perkemahan Quraisy dan Ghathafan dikirimkan angin kencang yang memporak-porandakan kemah dan perlengkapannya, seperti yang dilukiskan Al-Qur’anul Karim: “Wahai orang-orang yang beriman, ingatlah akan nikmat Allah (yang telah dikurniakan) kepadamu ketika datang kepadamu tentara-tentara, lalu Kami kirimkan kepada mereka angin topan dan tentara yang tidak dapat kamu melihatnya. Dan adalah Allah Maha Melihat akan apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Ahzab: 9).
Abu Sufyan kabur kembali dengan pasukannya ke Mekkah. Rasulullah pada saat itu bersabda, “Kini kami yang akan menyerang mereka dan mereka tidak akan menyerang kami lagi”. Ternyata sabda Rasulullah itu tepat sekali, perjanjian damai antara Quraisy dan Rasulullah berhasil ditandatangani.
Dalam kesempatan baik ini, Rasulullah mengirimkan surat dan delegasinya ke seluruh penjuru bumi, mengundang raja-raja dan kepala negaranya untuk masuk agama Islam. Diantara surat-suratnya itu ada yang dikirimkan kepada Heraclius, Kaisar Bizantium, yang dibawa oleh Dahyah al Kullabi.
Konon, kaisar bersedia menerima tawaran Rasulullah itu, namun baginda khawatir terhadap reaksi rakyatnya. Ketika Heraclius ada di negeri Syam kebetulan banyak pedagang dari Mekkah sedang berdagang di sana. Mereka telah dihadapkan kepada baginda beberapa orang, antara lain Abu Sufyan. Heraclius mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepadanya seraya berkata, “Saya akan bertanya kepadamu. Kalau ia berbohong, sangkallah.”
Abu Sufyan berkata mengenang peristiwa itu, “Kalau saya tidak khawatir dicap pembohong, tentu saya akan berbohong kepadanya. Saya ditanyai tentang Nabi, saya berusaha memperkecil perannya, namun baginda tidak menghiraukan keterangan saya itu, lalu tanyanya tiba-tiba: Dia bertanya, “Bagaimana kedudukan keluarganya di antara kalian?” “Keluarganya terbilang keluarga bangsawan”. “Apakah ada diantara  keluarganya  yang mengaku Nabi?” “Tidak!”. “Apakah ada hak-haknya yang pernah kalian rampas?” “Tidak”. “Siapa para pengikutnya?” “Mereka terdiri atas para orang lemah, miskin, dan anak muda.” “Apakah para pengikutnya mencintai dan mematuhinya, atau meninggalkannya?” “Tidak ada yang mengikutinya lalu meninggalkannya”. “Bagaimana peperangan yang terjadi antara dia dan kamu?” “Sekali kami menang dan sekali lagi dia yang menang”. “Apakah dia pernah berbuat curang?” “Saya tidak pernah mencurigainya. Kini, kami sedang berdamai dengan dia, namun kami tidak saling curiga”.
Heraclius berkata lagi, “Saya bertanya kepadamu tentang nasabnya, Anda mengatakan bahwa dia terbilang keluarga bangsawan dan begitulah para nabi umumnya. Saya bertanya kepadamu, apakah ada diantara keluarganya yang mengaku nabi, Anda mengatakan tidak. Saya bertanya kepadamu, apakah ada hak-haknya yang kalian rampas, lalu dia bangkit untuk menuntutnya, anda mengatakan tidak. Saya bertanya kepadamu tentang para pengikutnya, anda mengatakan mereka terdiri atas para mustadh’afiin dan fakir miskin, dan memang begitulah pengikut para rasul. Saya bertanya kepadamu tentang para pengikutnya, apakah mereka mencintainya atau  meninggalkannya, anda mengatakan bahwa para pengikutnya mencintainya dan tidak ada yang meninggalkannya. Begitulah lezatnya keimanan apabila sudah memasuki kalbu seseorang, tidak akan sudi keluar lagi. Saya bertanya kepadamu, apakah ia pernah melakukan kecurangan, anda menjawab tidak. Kalau Anda mau percaya, dia pasti akan menaklukkan bumi yang ada dibawah telapak kakiku ini. Rasanya aku ingin sekali mencuci kedua kakinya. Nah, kini, silahkan anda melakukan tugas-tugas Anda.”
Selanjutnya, Abu Sufyan berkata, “Aku keluar dari hadapan kaisar Heraclius dengan rasa takjub, lalu berkata: ‘Sungguh menakjubkan keadaan Ibnu Abi Kabsyah ini (yakni Muhammad). Kaisar Romawi merasa takut kekuasaannya akan terancam”.
Akan tetapi, mengapa Abu Sufyan tidak cepat masuk Islam? Apakah ia ragu-ragu akan kejujuran Muhammad?
Raja Romawi tidak mengingkari kenabian Muhammad. Malah, kalau ia ada dihadapannya, tentu ia akan mencuci kedua kakinya. Sesungguhnya, rintangan utama yang menghalang-halangi Abu Sufyan masuk Islam tidak lain hanyalah soal kekuasaan dan kewibawaan, yaitu kepemimpinan Quraisy. Dia Khawatir semuanya itu akan jatuh ke tangan Muhammad, sampai ada diantara mereka yang nekat berkata: “Ya Allah, jika betul (Al Qur’an) ini, dialah yang benar di sisi-Mu, maka hujanilah kami dengan batu dari langit atau datangkanlah kepada kami azab pedih”. (QS. al Anfaal: 32).
Ternyata Allahlah yang menentukan segalanya itu. Abu Sufyan tidak lama memegang tampuk kepemimpinan atau tongkat komando. Sungguh benar apa yang dikatakan Rasulullah bahwa Quraisy sesudah perang  Khandaq tidak akan mampu menyerang kaum muslimin lagi, tetapi giliran kaum musliminlah yang akan menyerang mereka untuk menaklukkan kota Mekkah.
Memang benteng kaum kafir dan musyrik itu harus dikikis habis dari muka bumi.
Abu Sufyan mengetahui benar apa tujuan Rasulullah menaklukkan kota Mekkah. Kali ini, ia pergi seorang diri tanpa pasukan menuju ke Medinah, tidak membawa senjata dan perlengkapan apa pun.
Ia pergi ke Medinah dengan penuh rasa gelisah dan ketakutan. Setiba disana, ia langsung menemui putrinya, Ummu Habibah, isteri Rasulullah ketika ia hendak duduk diatas permadani yang biasa di duduki oleh Rasulullah, putrinya cepat-cepat menariknya dan menggulungnya.
Abu Sufyan marah sekali atas perlakuan putrinya itu dan berkata, “Apakah kau lebih menghargai permadani itu daripadaku?”. Dia berkata lagi,” Putriku, sungguh kamu sudah kerasukan setan.” Dia lalu keluar pergi menemui Rasulullah namun beliau tidak mau menjawabnya sepatah katapun.
Dia lalu keluar dan pergi menemui Abu Bakar, meminta agar ia mau membantunya memperlunak sikap Rasulullah tetapi Abu Bakar menjawabnya dengan tegas, “Saya tidak dapat melakukannya.”
Dia lalu pergi menemui Umar ibnul Khaththab melihat Abu Sufyan, ia cepat-cepat memasuki kemah Rasulullah. Dan memberitahukan hal itu seraya meminta, “Ya Rasulullah, berikanlah izin kepadaku untuk memenggal batang lehernya.” Abbas mendahuluinya dan berkata, “Ya Rasulullah, saya sudah melindungi dan menjaminya!” Rasulullah lalu memerintahkan, “Bawa pergilah dia dan bawa kembalilah nanti siang. Kami sudah memberinya perlindungan”.
Siang harinya, Abbas membawa Abu Sufyan menghadap Rasulullah lagi, Rasulullah menegurnya, “Celaka kau, Wahai Abu Sufyan. Apakah kau belum juga mau sadar bahwa tiada tuhan selain Allah?”. Abu Sufyan menjawab, “Tentu, hal itu tidak dapat saya menyangkalnya sedikit pun”.
Rasulullah menegurnya lagi, “Celaka kau Abu Sufyan, apakah kau belum juga sadar bahwa saya Rasul Allah?” Abu Sufyan menjawab, “Kalau soal ini, rasanya dalam jiwaku masih terdapat keberatan sedikit”. Abbas lalu membentaknya, “Celaka kau! Ucapkanlah syahadat dengan sebenarnya sebelum kepalamu berpisah dari tubuhmu” . Dia lalu mengucapkan syahadatain bersama dengannya, telah menyatakan islamnya juga: Hakim bin Hizam dan Budail bin Warqa’.
Rasulullah lalu menyuruh Abbas supaya menahan Abu Sufyan hingga usai parade militer, ‘Tahan dia sampai melihat pawai tentara Allah.” Abbas berkata kepada Rasulullah, “Ya Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan senang juga pada pujian. Berikanlah sesuatu yang ia bisa banggakan kepada kaumnya.”
Rasulullah menjawab, “Siapa yang memasuki rumah Abu Sufyan, aman; siapa yang memasuki rumah Hakim bin Hizam, aman; siapa yagn memasuki Masjidil Haram, aman; dan siapa yang menutup pintu rumahnya, dia juga aman.” Selanjutnya, Abbas bin Abdul Muththalib berkata, “Saya mengajak Abu Sufyan duduk diatas sebuah puncak gunung, lalu pawai tentara Allah itu mulai bergerak di hadapan kami, rombongan demi rombongan: Kabilah Aslam, Juhainah, barisan Muhajirin dan Anshar, dan seterusnya. Setelah Abu Sufyan melihat pameran kekuatan itu, ia berkata, ‘Sungguh besar kerajaan anak saudaramu itu.” Saya menjawabnya, ‘Celaka kau. Ia bukan kerajaan, tetapi kenabian.’ Abu Sufyan berkata, ‘Benar juga.’
Abbas lalu memerintahkan kepada Abu Sufyan supaya segera kembali ke Mekkah dan memperingatkan kaumnya jangan sampai mereka melanggar perintah Rasulullah. Abu Sufyan dan Hakim bin Hizam segera pulang kembali ke kota Mekkah. Setiba di Masjidil Haram, keduanya berteriak-teriak memanggil kaumnya, Wahai kaum Quraisy, pasukan Muhammad telah datang dengan kekuatan yang tidak terbilang besarnya”.
Keduanya berkata lagi, “Siapa yang memasuki rumahku, dia akan aman; siapa yang memasuki Masjidil Haram, dia akan aman; siapa yang menutup pintunya, dia akan aman. Wahai kaum Quraisy, masuklah Islam, kalian akan selamat.”
Allah menakdirkan Abu Sufyan masuk Islam dan menjadi penyeru Islam. Orang yang selama bertahun-tahun menjadi panglima kaum musyrikin, kini sudah menjadi seorang tentara Allah. Ayah Mu’awiyah, penulis wahyu Rasulullah kini sudah masuk Islam. Kini, ia ikut serta menyebarkan agama Islam ke seluruh penjuru bumi yang jauh.
Ayah Ummu Habibah, isteri Rasulullah sudah masuk Islam. Ayah Yazid bin Abi Sufyan, kini sudah masuk Islam. Isterinya pun, yang dinyatakan sebagai salah seorang penjahat perang, telah masuk Islam juga, malah ia telah menghancur luluhkan berhala yang ada dirumahnya, seraya berkata, “Selama ini, kami tertipu oleh kamu.”
Kehidupan Abu Sufyan berjalan mulus dalam pengkuan Islam. Sejarah tidak mencatat sesuatu yang berarti kecuali sesudah wafatnya Rasulullah ketika kaum Muhajirin dan Anshar mengadakan rapat di Saqifah Bani Saa’idah untuk memilih Khalifah kaum muslimin. Ali bin Abu Thalib tidak menghadiri bai’at itu karena sedang sibuk mengurus jenazah Rasulullah. Ternyata kaum muslimin telah memilih Abu Bakar sebagai Khalifah Rasulullah.
Abu Bakar adalah laki-laki pertama yang menyatakan beriman kepada dakwah Rasulullah, orang pertama yang mempercayainya ketika kembali dari Isra’ dan Mi’raj. Ia berkata kepada orang membawa berita itu kepadanya, “Kalau dia (Muhammad) sudah mengatakan demikian, tentu beritanya itu benar.” Dia adalah kawan senasib dan sependeritaan dengan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam ketika berada dalam gua, ketika keduanya hendak berhijrah ke Madinah.
Pada saat-saat kritis seperti itu, Abu Sufyan tampil kepermukaan seraya berkata, “Tampaknya, melihat pencemaran yang sulit dihapus kecuali dengan darah, Wahai keturunan Abdi Manaf. Apa hak Abu Bakar menangani urusanmu?” Ia lalu datang kepada Ali bin Abi Thalib seraya mengulurkan tangannya dan berkata, “Ulurkan tanganmu, saya akan membai’atmu”.  Ali bin Abi Thalib membentaknya seraya berkata kepadanya, “Kamu tidak menghendaki dari perbuatan itu selain untuk membangkitkan fitnah. Saya tidak butuh nasihatmu.”
Dalam perang Yarmuk, ia ingin menebus semua dosanya terhadap Islam dan kaum muslimin. Ia berperang mati-matian sampai salah satu matanya tercongkel. Ia meninggal dunia pada tahun 33 Hijrah di usia 88 tahun pada zaman Khalifah Utsman bin Affan. Jenazahnya dishalati oleh putranya, Mu’awiyah, dan dikuburkan di Baqi’.
Sebab Turunya Ayat
Menurut Muhammad bin Ishaq dan murid-muridnya, ketika Abu Sufyan berhasil menyelamatkan kafilah Quraisy dari Rasulullah dan para sahabatnya, sementara tokoh-tokoh Quraisy yang ingin melindungi kafilah itu berhasil diterwaskan dalam perang Badar, maka timbullah inisiatif Abu Sufyan untuk mengobarkan peperangan yang lebih dahsyat terhadap  kaum muslimin dengan mengerahkan pasukan yang lebih besar dan terlatih, dan menghimpun dana yang lebih banyak, termasuk hasil penjualan barang dagangan dari kafilah yang berhasil diselamatkannya itu. Ia berkata kepada kaumnya, “Wahai kaum Quraisy, sesungguhnya Muhammad telah membunuh tokoh-tokoh kalian maka dukunglah kami untuk menuntut balas dengan harta yang dapat kami selamatkan ini”.
“Sesungguhnya orang-orang yang kafir itu, menafkahkan harta mereka untuk menghalangi (orang) dari jalan Allah. Mereka akan menafkahkan harta itu, kemudian menjadi sesalan bagi mereka dan mereka akan dikalahkan. Dan ke dalam neraka Jahanamlah orang-orang yang kafir itu dikumpulkan. Supaya Allah memisahkan (golongan) buruk dari yang baik dan menjadikan (golongan) yang buruk itu sebagiannya diatas sebagian yang lain, lalu kesemuanya ditumpukkan-Nya dan dimasukkan-Nya ke dalam neraka Jahanam. Mereka itulah orang-orang yang merugi”. (QS. Al Anfaal: 36-37).
Renungan
Dirirwayatkan oleh ‘Urwah bin az Zubair bahwa Aisyah pernah bertanya kepada Rasulullah, “Ya Rasulullah, apakah engkau pernah merasa menghadapi kesulitan lebih dahsyat dari pada Perang Uhud?” Beliau menajwab, “Aku telah menghadapi berbagai kesulitan yang lebih dahsyat dari kaummu, terutama ketika aku menawarkan Islam pada hari Aqibah kepada Ibnu Abdi Yalil bin Abdi Kulal, namun dia tidak menjawab sepatah katapun. Kemudian, aku pergi dengan perasan pedih dan sedih. Aku tidak sadar, tiba-tiba aku tiba di Qarnits Tsa’alib.
Ketika aku mengangkat kepalaku, tiba-tiba aku melihat awan sedang memayungiku dan mendengar Jibril memanggilku, ‘Sesungguhnya Allah telah mendengar omongan kaummu dan reaksi mereka terhadap tawaran-tawaranmu, dan Dia telah mengirimkan Raja Pegunungan kepadamu agar kamu memerintahkan kepadanya apa yang kamu inginkan terhadap kaummu itu.”
Ujar Rasulullah selanjutnya, “Lalu, Raja Pegunungan itu  mengucapkan salam kepadaku dan berkata, ‘Ya Muhammad, Allah telah mendengar omongan-omongan kaummu terhadapmu. Aku Raja Pegunungan, Rabbmu telah mengutusku kepadamu untuk diperintahkan sesuai dengan yang kamu inginkan. Kalau kamu mau, aku akan menimpakan pegunungan ini di atas mereka.’ Aku menjawab, ‘Tidak, malah aku berharap Allah akan melahirkan dari mereka itu orang-orang yang akan menyembah Allah dan tidak musyrik sedikitpun kepada-Nya”.
Siapa gerangan mereka selalu menghalang-halangi penyebaran dakwah dan menyakiti hati Rasulullah itu? Siapa gerangan orang yang senantiasa menyiksa kaum mustadh’afin di Mekkah dan lain-lain, setelah mereka memaklumatkan Islamnya? Siapa gerangan mereka yang telah mengusir Rasulullah keluar dari kampung halamannya dan menghalang-halangi penyebaran dakwahnya?
Sejarah mencatat nama-nama mereka dan tidak akan melupakannya. Mereka telah mendongakkan kepalanya, menutup rapat pintu hatinya, memejamkan matanya sehingga tidak melihat cahaya kebenaran memancar di hadapannya, dan memalingkan perhatian dari tanda-tanda hidayah dan keimanan.
Adapun tokoh-tokoh sesat yang paling terkenal di antara mereka ialah: Abu Jahal (al-Hakam bin Hisyam), Utbah bin Ra’biah, Syaibah bin Ra’biah, al-Walid bin Uqbah, Umayyah bin Khalaf, Uqbah bin Mu’ith dan Abu Sufyan bin Harb.
Rasulullah tidak mau mengutuk dan mendoakan kaumnya agar mendapat siksa seperti halnya umat para nabi yang terdahulu, setelah mereka tetap membangkang tidak mau menyambut dakwah para nabi mereka.
Rasulullah bisa saja meneladani para nabi yang sebelumnya, memohon kepada Rabbnya untuk menghukum kaumnya yang jahat dan angkara murka itu, namun baginda sebagai Nabiyur-rahmah hanya bisa mengucapkan, “Semoga Allah akan melahirkan dari mereka keturunan yang mengabdikan diri kepada Allah.”
Sejarah telah mencatat juga kepada kita, berapa banyak dari keturunan mereka orang yang paling gigih memerangi Rasulullah dan agamanya. Begitu juga dengan orang yang telah ikut serta menyebarkan agama ini ke seluruh penjuru bumi. Mereka sebagai kaum muslimin, baik sebagai prajurit, panglima, maupun sebagai dai, telah berhasil menyampaikan agama tauhid ini kepada kita.
Ikrimah bin Abu Jahal sebagai contoh, ketika ia menemui Rasulullah untuk menyatakan Islamnya, ia disambut baginda, “Marhaban, selamat datang kepada sang musafir yang muhajir.” Dia berkata, “Ya Rasulullah, ajarilah aku sesuatu yang terbaik yang baginda ketahui supaya aku mengucapkannya.”
Rasulullah memerintahkan, “Ucapkanlah syahadatain”. Ikrimah mengucapkan syahadatain, lalu ia memohon ampun atas dosa-dosanya  yang lalu dan Rasulullah pun memberinya ampun. Kemudian, ia menyatakan janji, “Demi Allah, berapa besar dana yang telah aku keluarkan selama ini untuk menghalang-halangi penyebaran agama Allah, kini aku akan menebusnya dengan pengeluaran yang serupa dalam upaya mengembangkan agamaNya; berapa besar kegigihanku untuk memenangkan agama dan penganut agama itu”.
Ternyata, kesaksianya itu ia penuhi dengan sebaik-baiknya. Ia berusaha menjadi ahli ibadah dan agama yang takwa, dan sekaligus menjadi pahalwan perang yang patut dibanggakan. Akhirnya, ia syahid dalam perang Yarmuk.
Begitu pula dengan Khalid bin Walid, seperti yang dilukiskan oleh Rasulullah kepada para sahabatnya, ketika Khalid masuk Islam. Rasulullah bersabda, “Kota Mekkah telah melemparkan anak tersayangnya pada kalian.”
Sementara itu, Abu Bakar ash Shidiq berkata, “Kaum wanita kita belum mampu melahirkan anak seperti Khalid.” Rasulullah menggelarinya Saifullah (Pedang Allah) terhadap kaum kafir dan musyrik. Tidak ada yang berani di hadapannya untuk menghadang dakwah kepada Allah.
Begitu pula dengan Abu Sufyan, yang senantiasa menjadi pimpinan tertinggi Quraisy dalam memerangi Rasulullah dan kaum uslimin, Allah berkenan kepadanya memberikan anak-anak yang besar jasanya dalam mengembangkan agama Allah, antara lain: Yazid bin Abi Sufyan yang  digelari “Yazid al-Khair”. Ia berperang di pihak Rasulullah di Hunain dan mendapat kemenangan perang di sana sebanyak seratus unta dan empat puluh uqiya (ukuran emas) yang ditimbangkan oleh Bilal. Dalam pemerintahan Khalifah Abu Bakar, ia diangkat menjadi seorang pembantunya, dan ketika hendak pergi ke posnya, Khalifah mengantarnya dengan berjalan kaki.
Diantaranya juga Mu’awiyah bin Abu Sufyan, penulis wahyu Rasulullah. Sungguh benar apa yang diramalkan Rasulullah bahwa agama Islam akan dimasuki oleh banyak umat secara beramai-ramai dan berbondong-bondong. Lalu, mana para tiran yang angkara murka itu? Mana mereka yang dengan gigih hendak menghalang-halangi penyebaran agama Allah itu? Mana para penguasa diktator yang mengangkat dirinya sebagai tuhan dimuka bumi, yang mendekatkan orang yang dicintainya, dan menyiksa serta menganiaya orang yang dibencinya meskipun tanpa salah dan dosa. Mana mereka itu sekarang? Mereka sudah pergi setelah menderita kekalahan, baik karena tewas, maupun terusir, sementara agama Allah tetap berjaya, panji kebenaran senantiasa berkibar-kibar dengan megah, sesuai dengan janji-Nya untuk dimenangkan di atas agama-agama yang lainnya (QS. at-Taubah: 33).
Allah juga sudah berjanji, “Bahwasanya bumi ini dipusakai hamba-hamba-Ku yang saleh”. (QS. Al Anbiya’: 105).
Apakah ada diantara para tiran abad ke-21, para penguasa angkara murka yang merusak bumi dan merusak semua yang hidup diatasnya, yang mau merenunginya? Apakah mereka belum juga mau sadar bahwa pada akhirnya tentara Allah jugalah yang akan meraih kemenangan akhir? Apakah mereka masih saja belum sadar, sebelum berbagai musibah dan petaka datang bertubi-tubi menimpa mereka? Sesungguhnya kemenangan Allah sudah dekat sekali. Pada saat itu kaum mukminin akan bersuka cita atas kemenangan Allah itu.

Diolah dari berbagai sumber.

ABU MUSA AL ASY’ARI

08 Des
“Yang penting keikhlasan, kemudian terjadilah apa yang akan terjadi.”
Tatkala Umar bin Khatthab mengirimnya ke Bashrah untuk menjadi panglima dan gubernur, dikumpulkannyalah penduduk lain berpidato di hadapan mereka, katanya, “Sesungguhnya Umar telah mengirimku kepada kamu sekalian, agar aku mengajarkan kepada kalian kitab Tuhan kalian dan Sunnah Nabi kalian, serta membersihkan jalan hidup kalian.”
Orang-orang sama heran dan bertanya-tanya. Mereka mengerti apa yang dimaksud dengan mendidik dan mengajari mereka tentang agama, yang memang menjadi kewajiban gubernur dan panglima. Tetapi bahwa tugas gubernur itu juga membersihkan jalan hidup mereka, hal ini memang amat mengherankan dan menjadi suatu tanda tanya. Maka siapakah kiranya gubernur ini, yang mengenai dirinya Hasan Basri pernah berkata, “Tak seorang pengendarapun yang datang ke Basrah yang  lebih berjasa kepada penduduknya selain dia.”
Ia adalah Abdullah bin Qeis dengan gelar Abu Musa al Asy’ari.  Ia  meninggalkan  negeri dan kampung halamannya Yaman menuju Mekah, segera setelah mendengar munculnya seorang Rasulullah di sana yang menyerukan tauhid, dan menyeru beribadah kepada Allah berdasarkan penalaran dan pengertian, serta menyuruh berakhlaq mulia.
Di Mekkah dihabiskan waktunya untuk duduk di hadapan Rasulullah menerima petunjuk dan keimanan daripadanya. Lalu pulanglah ia ke negerinya membawa kalimat Allah, baru kembali lagi kepada Rasulullah tidak lama setelah selesainya pembebasan Khaibar. Kebetulan kedatangannya ini bersamaan dengan tibanya Ja’far bin Abi Thalib bersama rombongannya dari Habsyi, hingga semua mereka mendapat bagian saham dari hasil pertempuran Khaibar.
Kali ini, Abu Musa tidaklah datang seorang diri, tetapi membawa lebih dari lima puluh orang laki-laki penduduk Yaman yang telah diajarinya tentang agama Islam, serta dua orang saudara kandungnya yang bernama Abu Ruhum dan Abu Burdah. Rombongan ini, bahkan seluruh kaum mereka dinamakan Rasulullah golongan Asy’ari, serta dilukiskannya bahwa mereka adalah orang-orang yang paling lembut hatinya di antara sesamanya. Dan sering mereka diambilnya sebagai  tamsil perbandingan bagi para shahabatnya, sabda beliau, “Orang-orang Asy’ari ini  bila mereka kekurangan makanan dalam peperangan atau ditimpa paceklik, maka mereka kumpulkan semua makanan yang mereka miliki pada selembar kain, lalu mereka bagi rata. Maka mereka termasuk golonganku, dan aku termasuk golongan mereka.” Mulai saat itu, Abu Musa pun menempati kedudukannya yang tinggi dan tetap di kalangan kaum muslimin dan mu’minin yang ditakdirkan beroleh nasib mujur menjadi shahabat Rasulullah dan muridnya, dan yang menjadi penyebar Islam ke seluruh dunia, pada setiap masa zaman.
Abu Musa merupakan gabungan yang istimewa dari sifat-sifat utama. Ia adalah prajurit yang gagah berani dan pejuang yang tangguh bila berada di medan perang. Tetapi ia juga seorang pahlawan perdamaian, peramah dan tenang, keramahan dan ketenangannya mencapai batas maksimal. Seorang ahli hukum yang cerdas dan berfikiran sehat, yang mempu mengerahkan perhatian kepada kunei dan pokok persoalan, serta mencapai hasil gemilang dalam berfatwa dan mengambil keputusan, sampai ada yang mengatakan, “Qadli atau hakim ummat ini ada empat orang, yaitu Umar, Ali, Abu Musa dan Zaid bin Tsabit.”
Di samping itu ia berkepribadian suci hingga orang yang menipunya di jalan Allah, pasti akan tertipu sendiri, tak ubahnya seperti senjata makan tuan. Abu Musa sangat bertanggung jawab terhadap tugasnya dan besar perhatiannya terhadap sesama manusia. Dan andainya kita ingin memilih suatu semboyan dari kenyataan hidupnya, maka semboyan itu akan berbunyi, “Yang penting ialah ikhlas, kemudian biarlah terjadi apa yang akan terjadi.”
Dalam arena perjuangan al Asy’ari memikul tanggung jawab dengan penuh keberanian, hingga menyebabkan Rasulullah berkata mengenai dirinya, “Pemimpin dari orang-orang berkuda ialah Abu Musa.” Dan sebagai pejuang, Abu Musa melukiskan gambaran hidupnya sebagai berikut, “Kami pernah pergi menghadapi suatu peperangan bersama Rasulullah, hingga sepatu kami pecah berlobang-lobang, tidak ketinggalan sepatuku, bahkan kuku jariku habis terkelupas, sampai-sampai kami terpaksa membalut telapak kaki kami dengan sobekan kain.”
Keramahan, kedamaian dan ketenangannya, jangan harap menguntungkan pihak musuh dalam sesuatu peperangan, karena dalam suasana seperti ini, ia akan meninjau sesuatu dengan sejelas-jelasnya, dan akan menyelesaikannya dengan tekad yang tak kenal menyerah.
Pernah terjadi ketika Kaum Muslimin membebaskan negeri Persi, Al-Asy’ari dengan tentaranya menduduki kota Isfahan. Penduduknya minta berdamai dengan perjanjian bahwa mereka akan membayar upeti. Tetapi dalam perjanjian itu mereka tidak jujur, tujuan mereka hanyalah untuk mengulur waktu untuk mempersiapkan diri dan akan memukul kaum muslimin secara curang.
Hanya kearifan Abu Musa yang tak pernah lenyap di saat-saat yang diperlukan,  mencium kebusukan niat yang mereka sembunyikan. Maka tatkala mereka bermaksud hendak melancarkan pukulan mereka itu, Abu Musa tidaklah terkejut, bahkan telah lebih dulu siap untuk melayani dan menghadapi mereka. Terjadiiah pertempuran, dan belum lagi sampai tengah hari, Abu Musa telah beroleh kemenangan yang gemilang.
Dalam medan tempur melawan imperium Persi, Abu Musa al-Asy’ari mempunyai saham dan jasa besar. Bahkan dalam pertempuran di Tustar, yang dijadikan oleh Hurmuzan sebagai benteng pertahanan terakhir dan tempat ia bersama tentaranya mengundurkan diri, Abu Musa menjadi pahlawan dan bintang lapangannya. Pada saat itu Umar ibnul Khatthab mengirimkan sejumlah tentara yang tidak sedikit, yang dipimpin oleh ‘Ammar bin Yasir, Barra’ bin Malik, Anas bin Malik, Majzaah al-Bakri dan Salamah bin Raja’.
Dan kedua tentara itu pun, yakni tentara Islam di bawah pimpinan Abu Musa, dan tentara Persi di bawah pimpinan Hurmuzan, bertemulah dalam suatu pertempuran dahsyat. Tentara Persi menarik diri ke dalam kota Tustar yang mereka perkuat menjadi benteng. Kota itu dikepung oleh kaum muslimin berhari-hari lamanya, hingga akhirnya Abu Musa mempergunakan akal muslihatnya.
Dikirimnya beberapa orang menyamar sebagai pedagang Persia membawa dua ratus ekor kuda disertai beberapa prajurit perintis menyamar sebagai pengembala. Pintu gerbang kota pun dibuka untuk mempersilakan para pedagang masuk. Secepat pintu benteng itu dibuka, prajurit-prajurit pun berloncatan menerkam para penjaga dan pertempuran kecil pun terjadi.
Abu Musa beserta pasukannya tidak membuang waktu lagi menyerbu  memasuki kota, pertempuran dahsyat terjadi, tapi tak berapa lama seluruh kota diduduki dan panglima beserta seluruh pasukannya menyerah kalah, Panglima musuh beserta para komandan pasukan oleh Abu Musa dikirim ke Madinah, menyerahkan nasib mereka pada Amirul Mu’minin. Tetapi baru saja prajurit yang kaya dengan pengalaman dan dahsyat ini meninggalkan medan, ia pun telah beralih rupa menjadi seorang hamba yang rajin bertaubat, sering menangis dan amat jinak bagaikan burung merpati. Ia membaca al Quran  dengan suara yang menggetarkan tail hati para pendengarnya, hingga mengenai ini Rasulullah pernah bersabda, “Sungguh, Abu Musa telah diberi Allah seruling dari seruling-seruling keluarga Daud.”
Dan setiap Umar melihatnya, dipanggilnya dan disuruhnya untuk membacakan Kitabullah, “Bangkitlah kerinduan kami kepada Tuhan kami, wahai Abu Musa.” Begitu pula dalam peperangan, ia tidak ikut serta, kecuali ketika melawan tentara musyrik, yakni tentara yang menentang Agama dan bermaksud hendak memadamkan nur atau cahaya Ilahi. Adapun peperangan antara sesama muslim, maka ia menyingkirkan diri dan tak hendak terlibat di dalamnya. Pendiriannya ini jelas terlihat dalam perselisihan antara Ali dan Mu’awiyah, dan pada peperangan yang apinya berkobar ketika itu antara sesama Muslim.
Dan mungkin pokok pembicaraan kita sekarang ini akan dapat mengungkapkan prinsip hidupnya yang paling terkenal yaitu pendiriannya dalam tahkim, pengadilan atau penyelesaian sengketa antara Ali dan Mu’awiyah. Pendiriannya ini sering dikemukakan sebagai saksi dan bukti atas kebaikan hatinya yang berlebihan, hingga menjadi makanan empuk bagi orang yang menipudayakannya. Tetapi sebagaimana akan kita lihat kelak, pendirian ini walaupun mungkin agak tergesa-gesa dan terdapat padanya kecerobohan, hanyalah mengungkapkan kebesaran shahabat yang mulia ini, baik kebesaran jiwa dan kebesaran keimanannya kepada yang haq serta kepercayaannya terhadap sesama kawan.
Pendapat Abu Musa mengenai soal tahkim ini dapat kita simpulkan bahwa, memperhatikan adanya peperangan sesama kaum muslimin, dan adanya gejala masing-masing mempertahankan pemimpin dan kepala pemerintahannya, suasana antara kedua belah pihak sudah melantur sedemikian jauh serta teramat gawat menyebabkan nasib seluruh ummat Islam telah berada di tepi jurang yang amat dalam, maka menurut Abu Musa, suasana ini baru diubah dan dirombak dari bermula secara keseluruhan.
Sesungguhnya perang saudara yang terjadi ketika itu, hanya berkisar pada pribadi kepala negara atau khalifah yang diperebutkan oleh dua golongan kaum muslimin. Maka pemecahannya ialah hendaklah Ali meletakkan jabatannya untuk sementara waktu, begitu pula Mu’awiyah baru turun, kemudian urusan diserahkan lagi dari bermula kepada kaum muslimin yang dengan jalan musyawarat akan memilih khalifah yang mereka kehendaki.
Demikianlah analisa Abu Musa ini mengenai kasus tersebut, dan demikian pula cara pemecahannya. Benar, bahwa Ali telah diangkat menjadi khalifah secara sah. Dan benar pula bahwa pembangkangan yang tidak beralasan, tidak dapat dibiarkan mencapai maksudnya untuk menggugurkan yang haq yang diakui syari’at. Hanya menurut Abu Musa, pertikaian sekarang ini telah menjadi pertikaian antara penduduk Iraq dan penduduk Syria, yang memerlukan pemikiran dan pemecahan dengan cara baru, karena pengkhianatan Mu’awiyah sekarang ini telah  menjadi pembangkangan penduduk Syria, sehingga semua pertikaian itu tidaklah hanya pertikaian dalam pendapat dan pilihan saja.
Tetapi kesemuanya itu telah berlarut-larut menjadi perang saudara dahsyat yang telah meminta ribuan korban dari kedua belah pihak, dan masih mengancam Islam dan kaum muslimin dengan akibat yang lebih parah. Maka melenyapkan sebab-sebab pertikaian dan peperangan serta menghindarkan benih-benih dan biang keladinya, bagi Abu Musa merupakan titik tolak untuk mencapai penyelesaian.
Pada mulanya, sesudah menerima rencana tahkim, Ali bermaksud akan mengangkat Abdullah bin Abbas atau shahabat lainnya sebagai wakil dari pihaknya. Tetapi golongan besar yang berpengaruh dari shahabat dan tentaranya memaksanya untuk memilih Abu Musa al Asy’ari. Alasan mereka karena Abu Musa tidak sedikit pun ikut campur dalam pertikaian antara Ali dan Mu’awiyah sejak semula. Bahkan setelah ia putus asa membawa kedua belah pihak kepada saling pengertian, kepada perdamaian dan menghentikan peperangan, ia menjauhkan diri dari pihak-pihak yang bersengketa itu. Maka ditinjau dari segi ini, ia adalah orang yang paling tepat untuk melaksanakan tahkim.
Mengenai keimanan Abu Musa, begitupun tentang kejujuran dan ketulusannya, tak sedikit pun diragukan oleh Ali. Hanya ia tahu betul maksud-maksud tertentu pihak lain dan pengandalan mereka kepada anggar lidah dan tipu muslihat. Sedang Abu Musa, walaupun ia seorang yang ahli dan berilmu, tidak menyukai siasat anggar lidah dan tipu muslihat ini, serta ia ingin memperlakukan orang dengan kejujurannya dan bukan dengan kepintarannya. Karena itu Ali khawatir Abu Musa akan tertipu oleh orang-orang itu, dan tahkim hanya akan beralih rupa menjadi anggar lidah dari sebelah pihak yang akan tambah merusak keadaan.
Dan tahkim antara kedua belah pihak itu pun mulailah. Abu Musa bertindak sebagai wakil dari pihak Ali sedang Amr bin ‘Ash sebagai wakil dari pihak Mu’awiyah. Dan sesungguhnya  ‘Amr bin ‘Ash mengandalkan ketajaman otak dan kelihaiannya yang luar biasa untuk memenangkan pihak Mu’awiyah.
Pertemuan antara kedua orang wakil itu, yakni Asy’ari dan ‘Amr, didahului dengan diajukannya suatu usul yang dilontarkan oleh Abu Musa, yang maksudnya agar kedua hakim menyetujui dicalonkannya, bahkan dimaklumkannya Abdullah bin Umar sebagai khalifah kaum muslimin, karena tidak seorang pun di antara umumnya kaum muslimin yang tidak mencintai, menghormati dan memuliakannya.
Mendengar arah pembicaraan Abu Musa ini, ‘Amr bin ‘Ash pun meiihat suatu kesempatan emas yang tak akan dibiarkannya berlalu begitu saja. Dan maksud usul dari Abu Musa ialah bahwa ia sudah tidak terikat lagi dengan pihak yang diwakilinya, yakni Imam Ali. Artinya pula bahwa ia bersedia menyerahkan khalifah kepada pihak lain dari kalangan shahabat-shahabat Rasulullah, dengan alasan bahwa ia telah mengusulkan  Abdullah bin Umar.
Demikianlah dengan kelicinannya, ‘Amr menemukan pintu yang lebar untuk mencapai tujuannya, hingga ia tetap mengusulkan Mu’awiyah. Kemudian diusulkannya pula puteranya sendiri Abdullah bin ‘Amr yang memang mempunyai kedudukan tinggi di kalangan para shahabat Rasulullah. Kecerdikan ‘Amr ini, terbaca oleh keahlian Abu Musa. Karena demi dilihatnya ‘Amr mengambil prinsip pencalonan itu sebagai dasar bagi perundingan dan tahkim, ia pun memutar kendali ke arab yang lebih aman. Secara tak terduga dinyatakannya kepada ‘Amr bahwa pemilihan khalifah itu adalah hak seluruh kaum muslimin, sedang Allah telah menetapkan bahwa segala  urusan  mereka hendaklah  diperundingkan  di antara mereka. Maka hendaklah soal pemilihan itu diserahkan hanya kepada mereka bersama.
Abu Musa adalah orang kepercayaan dan kesayangan Rasulullah juga menjadi kepercayaan dan kesayangan para khalifah dan shahabat-shahabatnya. Sewaktu Rasulullah masih hidup, ia diangkatnya bersama Mu’adz bin Jabal sebagai penguasa di Yaman. Dan setelah Rasulullah wafat, ia kembali ke Madinah untuk memikul tanggung jawabnya dalam jihad besar yang sedang diterjuni oleh tentara Islam terhadap Persia dan Romawi.
Di masa Umar, Amirul Mu’minin mengangkatnya sebagai gubernur di Bashrah, sedang khalifah Utsman mengangkatnya menjadi gubernur di Kufah. Abu Musa termasuk ahli al Quran menghafalnya, mendalami dan mengamalkannya. Di antara ucapan-ucapannya yang memberikan bimbingan mengenai al-Quran itu ialah:
“Ikutilah  al Quran dan jangan kalian berharap akan diikuti oleh al Quran.”
Ia juga termasuk ahli ibadah yang tabah. Waktu-waktu siang di musim panas, yang panasnya menyesak nafas, amat dirindukan kedatangannya oleh Abu Musa, dengan tujuan akan puasa padanya, katanya, “Semoga rasa haus di panas terik ini akan menjadi pelepas dahaga bagi kita di hari qiamat nanti.”
Dan pada suatu hari yang lembut, ajal pun datang menyambut. Wajah menyinarkan cahaya cemerlang, wajah seorang yang mengharapkan rahmat serta pahala Allah. Kalimat yang selalu diulang-ulang, dan menjadi buah bibimya, sepanjang hayatnya yang diliputi keimanan itu, diulang dan menjadi buah bibirnya pula di saat ia hendak pergi berlalu. Kalimat-kalimat itu ialah, “Ya Allah, Engkaulah Maha Penyelamat, dan dari-Mu-lah kumohon Keselamatan.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar