'>

Senin, 13 Juni 2011

Kode Iklan Anda disini

ABU SUFYAN BIN HARB


“Sesungguhnya orang-orang yang kafir itu, menafkahkan harta mereka untuk menghalangi (orang) dari jalan Allah. Mereka akan menafkahkan harta itu, kemudian menjadi sesalan bagi mereka dan mereka akan dikalahkan. Dan ke dalam neraka Jahanamlah orang-orang yang kafir itu dikumpulkan. Supaya Allah memisahkan (golongan) buruk dari yang baik dan menjadikan (golongan) yang buruk itu sebagiannya diatas sebagian yang lain, lalu kesemuanya ditumpukkan-Nya dan dimasukkan-Nya ke dalam neraka Jahanam. Mereka itulah orang-orang yang merugi.” (QS. Al Anfaal: 36-37).
Menurut keterangan beberapa ahli tafsir, ayat tersebut diturunkan berkenaan dengan Abu Sufyan bin Harb. Abu Sufyan bin Harb terkenal sebagai salah seorang tokoh Quraisy pada zaman Jahiliah.
Riwayat Hidup
Dia seorang saudagar terkenal, banyak mengenal keinginan pasar. Sebagai tokoh masyarakat Quraisy, ia banyak mengetahui gaya hidup masyarakatnya. Ia juga seperti yang dikatakan banyak orang, antara lain al ‘Abbas bin Abdul Muththalib, senang dipuji dan dibanggakan orang.
Ia dilahirkan sepuluh tahun sebelum terjadinya penyerbuan tentara gajah ke Mekkah. Ia sering memimpin kafilah perdagangan kaum Quraisy ke negeri Syam dan ke negeri ‘ajam (selain Arab) lainya. Ia suka keluar dengan membawa panji para pemimpin yang dikenal dengan ‘Al ‘Uqab. Panji itu tidak dipegang melainkan oleh pemimpin Quraisy. Kalau terjadi peperangan, panji itu pun hanya dipegang olehnya.
Putranya, Mu’awiyah bin Abi Sufyan adalah seorang penulis wahyu. Ia pernah diangkat menjadi gubernur negeri Syam sebelum pemerintahan Khalifah Umar ibn Khaththab. Putrinya, Ramlah binti Abu Sufyan. (Ummu Habibah), adalah istri Rasulullah. Dan termasuk salah seorang dari Ummahaatul Mukminin.
Ummu Habibah, istri Abdullah bin Jahsy, pergi berhijrah ke negeri Habasyah bersama dengan suaminya. Di negeri nun jauh itu tiba-tiba suaminya tergoda masuk agama Nashrani. Karenanya, ia minta cerai. Sesudah berakhir ‘iddahnya, Raja Najasyi memanggilnya seraya berkata kepadanya, “Rasulullah telah menulis surat kepada saya untuk mengawinkan anda dengan beliau”.  Ramlah lalu berkata, “Semoga Allah akan menggembirakan dan membahagiakan Paduka tuan juga.”
Ramlah pun akhirnya menjadi isteri Rasulullah. Ketika Abu Sufyan mendengar berita perkawinan puterinya itu dengan Rasulullah, ia berkata, “Unta jantan ini semoga tidak dipotong hidungnya.”
Abu Sufyan mendengar dakwah yang dikumandangkan Rasulullah dan ternyata dia merupakan orang yang paling gigih melawan dan memeranginya. Dia pernah juga menyertai delegasi kaum Quraisy yang dikirim menemui Abu Thalib, meminta kepadanya supaya mau menyerahkan keponakannya (Muhammad) untuk disembelih oleh mereka, dengan syarat akan menggantikannya dengan seorang pemuda Quraisy lainya yang mereka pandang lebih mendatangkan keberuntungan bagi mereka semua.
Dia juga pernah mengadakan persekutuan jahat dengan pemimpin Quraisy lainnya terhadap Rasulullah  dan kaum muslimin, dengan mendatangkan surat pernyataan memblokade Bani Hasyim, yaitu tidak mengadakan hubungan perkawinan dan jual-beli dengan mereka.
Tiba saatnya Rasulullah dan kaum muslimin pergi berhijrah ke Madinah. Ternyata, kaum muslimin hidup aman dan berbahagia di negeri yang tentram ini.
Pada suatu saat, Rasulullah mengetahui bahwa Abu Sufyan sedang dalam perjalanan dari Syam ke Mekkah, memimpin kafilah dagang kaum Quraisy, kaum yang selama lebih dari sepuluh tahun telah menyiksa dan menyengsarakan mereka, yang telah mengusir mereka keluar dari negerinya dan juga merampas harta kekayaannya. Abu Sufyan sendiri terlibat dalam perbuatan jahat dan keji itu.
Rasulullah memberitahukan hal itu, terutama kepada kaum Muhajirin, “Kafilah dagang Quraisy di bawah pimpinan Abu Sufyan segera akan melintasi daerah kita. Marilah kita keluar mencegatnya. Barangkali Allah akan menggantikan apa-apa yang telah mereka rampas dari kita dahulu.”
Ketika tiba di perbatasan Hijaz, Abu Sufyan mulai dirundung firasat tidak enak. Ia selalu bertanya kepada setiap orang atau kafilah yang datang dari jurusan Madinah dengan perasaan was-was dan takut. Akhirnya ia mendengar dari salah satu sumber yang meyakinkan bahwa Muhammad telah mengerahkan orang-orangnya untuk mencegat kafilah yang dipimpinnya.
Abu Sufyan lalu membayar seorang kurir untuk mengirimkan kabar tentang hal itu ke kota Mekkah, namanya Dhamdham bin Amru al Ghifari. Dalam pesannya itu, ia berharap supaya kaum Quraisy mengirimkan pasukannya untuk melindungi kafilah yang dipimpinnya dari serangan Muhammad dan para sahabatnya.
Ternyata diluar dugaan, Abu Sufyan berhasil menempuh jalan keluar dari kepungan Nabi Muhammad. Ia segera mengirim kurir yang lain untuk menemui kaum Quraisy yang hendak  melindungi kafilahnya. Ia berkata, “Kalian keluar untuk menyelamatkan kafilah, harta, dan orang-orang kalian. Kini, semuanya itu sudah diselamatkan oleh Allah. Kami harap kalian segera kembali ke Mekkah”.
Abu Jahal berkata kepada anggota pasukannya , “Demi Allah, kami tidak akan kembali hingga sampai ke Badar. Disana, kami akan berdiam tiga hari tiga malam, bersuka ria, memotong ternak, makan-makan, minum-minuman keras, dan wanita menyanyi dan menari agar  bangsa Arab mendengar dan mengetahui perjalanan dan berkumpulnya kami, dan senantiasa menakuti kami. Ayo jalan terus!”
Terjadilah peperangan di Badar antara pasukan yang dipimpin Rasulullah dan pasukan yang dipimpin Abu Jahal. Dalam peperangan itu, Abu Jahal dan banyak tokoh Quraisy lain tewas, dan banyak juga yang tertawan. Diantara yang tertawan itu adalah Abul ‘Ash bin ar-Rabi’, suami Zainab binti Rasulullah. Kaum Quraisy mengirimkan tebusan untuk pembebasan para tawanannya, sedangkan Zainab binti Rasulullah mengirimkan liontin pemberian ibunya, Khadijah binti Khuwalid.
Setelah Rasulullah melihatnya, lalu ia bersabda kepada para sahabatnya dengan penuh haru, “Kalau kalian ridha melepaskan tawanannya dan mengembalikan hartanya, silahkan.”
Mereka menyambutnya, “Baiklah, ya Rasulullah.”
Rasulullah meminta janji Abul ‘Ash bahwa ia akan melepaskan putrinya, Zainab, pergi ke Madinah. Untuk itu, Rasulullah telah mengirimkan Zaid bin Haritsah dan seorang lainnya dari orang Anshar untuk mengawalnya. Rasulullah bersabda kepada orang itu, “Kalian berdua hendaklah menunggu kedatangan Zainab di Lembah Ya’jaj kemudian menyertainya hingga datang ke sini”.
Sesudah Abul ‘Ash tiba di Mekkah, ia langsung memerintahkan Zainab (isterinya) pergi ke Madinah untuk menyusul ayahnya. Sesudah keberangkatannya dipersiapkan, ia meminta kepada saudaranya, Kinanah bin ar-Rabi’, untuk mengawal keberangaktan isterinya itu. Kinanah berangkat  di siang hari dengan mengendarai unta, membawa panah dan busurnya, sedangkan Zainab di atas haudaj.
Keluarnya Zainab ini sempat membuat ketegangan di kalangan kaum Quraisy yang baru kalah perang di Badar. Mereka mengejarnya dan berhasil menyusulnya di suatu tempat yang bernama Dzi Thuwa. Orang yang pertama berhasil mengejarnya ialah Hubar bin al Aswad bin Abdul Muththalib bin Ased.
Kinanah dengan cekatan menghadang Hubar seraya berkata, “Demi Allah, jangan ada yang mendekati kami. Kalau tidak, aku tidak ragu-ragu melepaskan panahku ini”. Orang-orang pun menjauh darinya.
Tak lama setelah itu, Abu Sufyan datang dengan rombongannya hendak melerai kedua rombonga itu. Ia berkata: “Kinanah. Masukkanlah anak panahmu. Kami akan berbicara denganmu”. Ia pun lalu memasukkan anak panahnya ke sarungnya.
Abu Sufyan lalu  menasehatinya, “Kamu tidak tepat membawa keluar wanita itu di siang hari, padahal kamu tahu benar apa yang telah dilakukan Muhammad terhadap tokoh kita di Badar baru-baru ini. Dengan mengeluarkan putrinya di siang hari dari tengah-tengah kita, akan menimbulkan  anggapan pada masyarakat bahwa kita melakukannya dalam keadaan hina dan lemah. Kami tidak berkepentingan untuk memisahkannya dari ayahnya, namun kami ingin wanita itu dibawa dahulu ke Mekkah, sampai suara-suara yang membicarakan kekalahan perang di Badar itu usai, barulah kamu membawanya keluar secara diam-diam.
Kinanah membawa Zainab kembali lagi ke Mekkah. Sesudah beberapa malam, ketika pembicaraan Quraisy tentang kekalahannya sudah mulai mereda, barulah ia membawa keluar dengan diam-diam dan menyerahkannya kepada Zaid bin Haritsah dan rekannya itu.
Dalam keadaan seperti itu, Abu Sufyan telah bertindak bijaksana sekali hingga dapat mengekang amarah kaum Quraisy yang sedang berkobar-kobar dan sekaligus berhasil juga memenuhi keinginan Rasulullah untuk mengirimkan putrinya ke Madinah.
Belum setahun dari kekalahanya di Badar, kaum Qurasiy telah berhasil mengarahkan kabilah-kabilah yang ada di sekitar Mekkah untuk emerangi Muhammad. Barang dagangan dari kafilah yang berhasil diselamatkan dari akum muslimin dahulu itu diapakai sebagai modal utama untuk membiayai peperangan yang akan mereka lancarkan. Pasukan dipimpin oleh Abu Sufyan sendiri. Ia Keluar dengan isterinya, Hindun binti Utbah.
Ternyata, dalam peperangan itu, kaum Quraisy meraih kemenangan karena pasukan panah kaum muslimin melanggar perintah Rasulullah untuk tidak meninggalkan kedudukannya di atas Bukit Uhud. Allah ingin memelihara kaum muslimin yang akan mengemban tugas menyebarkan agama-Nya ke seluruh penjuru dunia, agar mereka senantiasa bersatu padu, tidak bercerai berai, dan selalu kompak dan patuh pada perintah pimpinannya.
Sesudah peperangan usai, Abu Sufyan naik ke atas puncak Gunung Uhud seraya berteriak dengan suara keras, “Peperangan berakhir dengan seri, perang Badar dengan perang Uhud. Pujalah Dewa Hubal, agamamu telah menang.”
Rasulullah bersabda, “Wahai Umar, jawablah mereka dan katakanlah, ‘Allah Maha Agung. Mayat orang-orang kami di surga dan mayat orang-orang kalian di api neraka”. Sesudah Umar menjawab pertanyaannya, Abu Sufyan berkata kepadanya, “Wahai Umar, mari Anda ke sini.”
Rasulullah memerintahkan kepada Umar, “Hampirilah, Umar. Apa maunya?” Umar pergi menghampirinya, lalu Abu Sufyan bertanya, “Saya mohon kepadamu, wahai Umar apakah pasukan kami telah membunuh Muhammad?” Umar menjawab, “Demi Allah, tidak. Dia mendengar bicaramu itu hingga kini”.
Ia lalu berkata dengan tegas, “Saya lebih percaya kepadamu daripada Ibnu Qamiah, yang mengatakan ia telah berhasil membunuh Muhammad.” Sewaktu ia akan kembali pulang, Abu Sufyan mengatakan lagi, “Kita akan bertemu lagi di tahun yang akan datang di Badar”.
Rasulullah memerintahkan salah seorang sahabat untuk menjawab tantangan Abu Sufyan itu, “Katakanlah kepadanya, kami akan sambut tantanganmu.”
Abu Sufyan kembali dengan pasukannya. Di tengah jalan, ada seorang yang berkata kepada mereka, “Kita memang telah membunuh banyak pimpinan tertinggi kaum muslimin. Akan tetapi, mengapa kita tidak menumpas sisa-sisanya agar tidak memberikan kesempatan hidup lagi kepada mereka?”
Abu Sufyan termakan oleh pendapat itu. Akan tetapi, belum sempat ia memutar kepala kudanya, ia melihat Ma’bad bin Ma’bad al Khuza’i datang dari arah uhud. Abu Sufyan lalu bertanya kepadanya, “Ada kabar apa, wahai Ma’bad?” Ia menjawab, “Muhammad dan kawan-kawanya sedang mengejar-ngejar kalian dengan pasukan yang tiada taranya. Orang-orang yang tidak ikut berperang bersamanya, kini sedang berkumpul dan menyesali diri. Mereka dengan perasaan marah akan mengejar kalian dan membalas dendam atas kekejaman yang derita kawan-kawannya”.
Abu Sufyan mengigil ketakutan. Ia bertanya, “Celaka, Apa katamu?” Ma’bad berkata lagi, menegaskan, “Menurut pendapat saya, sebaiknya kalian cepat-cepat pulang kembali.” Abu Sufyan berkata kepadanya, “Sesungguhnya kami berniat akan kembali dan menumpas sisa tokoh mereka yang masih hidup”. Ma’bad menasehati  mereka, “Saya menasehatimu, janganlah Anda melakukannya.” Setelah mendengar nasihat Ma’bad, mereka cepat-cepat kembali pulang ke Mekkah.
Abu Sufyan telah mengerahkan pasukannya dan mendatangkannya untuk menyerang kaum muslimin di Uhud. Dia juga telah bertindak sebagai panglima tertinggi dalam peperangan ini sehingga banyak sahabat pilihan Rasulullah yang tewas karenanya, bahkan ia telah berjanji akan melancarkan serangan lagi tahun depan. Lalu, apa yang mungkin dilakukan sedangkan kekayaan, perlengkapan, dan pasukan mereka tidak terbilang banyaknya?
Memang Abu Jahal, Umayyah bin Khalaf, dan Abu Lahab sudah tewas. Kalau Abu Sufyan termasuk orang yang tewas juga tentu keadaan akan berubah jauh, tentu banyak orang yang menganut Islam dengan terang-terangan.
Rasulullah bermusyawarah dengan para sahabatnya tentang Abu Sufyan. Ternyata banyak diantara mereka yang memberikan saran supaya dibunuh saja. Ia bertanggung jawab atas tewasanya para sahabat pilihan di medan Uhud. Jadi, kalau ia di bunuh, ini hanya merupakan qishas semata-mata, bukan suatu tindakan kejahatan. Rasulululah puas atas hasil musyawarah itu. Akhirnya, Rasulullah memutuskan untuk mengirimkan Amru bin Umayyah ad Dhamri dan seorang dari golongan Anshar pergi ke Mekkah untuk membunuh Abu Sufyan.
Kedua orang itu pergi memenuhi perintah Rasulullah.
Amru menceritakan misinya, “Saya keluar bersama rekan saya yang kurang sehat. Saya membawanya diatas untaku hingga mencapai Lembah Ya’jaj, tidak jauh dari Mekkah.
Aku berkata kepada rekanku, ‘Kita tinggalkan unta kita disini dan kita pergi mencari Abu Sufyan dan membunuhnya. Kalau kamu melihat sesuatu yang mengkhawatirkan, cepat-cepat pergi ke tempat unta itu dan kembali menemui Rasulullah dan ceritakan apa-apa yang telah terjadi kepadanya, tidak usah memikirkan aku. Kami memasuki kota Mekkah. Aku menyandang sebilah Khanjar (belati). Aku sengaja persiapkan kepada siapa-sapa saja yang menghalang-halangiku. Rekanku berkata kepadanya, ‘Apakah tidak sebaiknya kita Thawaf dahulu dan Shalat dua rakaat?’ Saya menjawabnya, ‘Biasanya penduduk kota Mekkah duduk-duduk di halaman  rumah mereka dan saya mengenali mereka’.
Kami memasuki Baitullah, lalu kami thawaf dan shalat dua raka’at disana, kemudian kami keluar dan melewati tempat mereka duduk-duduk. Ternyata, sebagian dari mereka mengenaliku, lalu berteriak sekeras-kerasnya, itu Amru bin Umayyah’.
Penduduk kota Mekkah keluar mengejar kami dan berkata, ‘Dia tidak datang melainkan utnuk melakukan suatu kejahatan’.
Aku berkata kepada rekanku, ‘Selamatkan dirimu.’ Kami melarikan diri keatas gunung, lalu memasuki sebuah gua. Kami bermalam dua hari dua malam disana, menunggu keadaan tenang. Tiba-tiba Utsman bin Malik dengan menunggang kuda ada di pintu goa. Saya keluar dan menikamnya dengan khanjarku. Dia berteriak dengan sekeras-kerasnya sehingga penduduk Mekkah datang menghampirinya, sedangkan saya kembali bersembunyi. Mereka menemukannya sudah dalam keadaan sekarat. Mereka bertanya kepadanya, ‘Siapa yang menikammu?’
Dia menjawab, ‘Amru bin Umayyah,’ lalu ia menghembuskan napas terakhirnya dan tak sempat memberitahukan kepadanya tempat persembunyianku. Kini mereka disibukan mengurusi mayatnya  sehingga tidak sempat mencari tempat persembunyianku. Aku tinggal di gua itu dua hari lagi sampai keadaan menjadi benar-benar tenang.
Setelah itu, kami keluar menuju Tan’im, suatu tempat yang tidak jauh dari Mekkah. Disana, saya menemukam mayat Khubaib tergantung diatas sebuah kayu, disekitarnya terdapat beberapa orang pengawal. Saya menurunkan mayatnya, lalu memanggulnya. Belum sampai empat puluh langkah dari tempatnya, mereka sadar dan mengejar saya. Saya meletakkan mayat Khubaib dan melarikan diri, sampai mereka tidak mengejarku lagi. Adapun rekanku telah kembali dengan mengendarai untanya dan menceritakan apa-apa yang dilihatnya kepada Rasulullah mengenai mayat Khubaib, sejak saat itu tidak terlihat lagi, seolah-olah telah di telan bumi”.
Dikisahkan bahwa Abu Sufyan berkata kepada Khubaib ketika hendak dibinihnya, “Ya Khubaib, maukah kau kalau  menggantikan tempatmu sekarang, akan kami penggal batang lehernya sedangkan aku duduk dengan keluargaku.”
Abu Sufyan terheran-heran, “Belum pernah aku melihat ada seseorang yang mencintai seseorang lebih dari sahabat Muhammad mencintai Muhammad.” Dia pun lalu dibunuhnya.
Sudah menjadi takdir Allah bahwa Abu Sufyan tidak mati terbunuh. Misi ‘Amru bin Umayyah gagal untuk membunuhnya. Abu Sufyan hidup dan berkesempatan untuk mengerahkan para kabilah Arab untuk memerangi Rasulullah. Kali ini, ia bertujuan untuk menyerang kota Madinah. Rasulullah mencium rencana jahat mereka, lalu baginda memerintahkan kaum muslimin untuk menggali parit sesuai dengan saran Salman al Farisi. Begitu parit itu selesai digali, pasukan Quraisy dibawah pimpinan Abu Sufyan tiba, tetapi mereka tidak berhasil menerobos kota Madinah. Mereka mendirikan perkemahannya di luar parit itu. Pada saat itu, kaum muslimin menghadapi musuh baru dari Madinah yaitu kaum Yahudi. Pada waktu itu Huyai bin Ahthab datang menemui Ka’ab bin Asad, pimpinan baru Quraizhah. Dia sudah mengadakan perjanjian dengan Rasulullah atas nama kaumnya. Ia lalu menutup pintu bentengnnya dan tidak memberi izin kepada Huyai untuk memasukinya, seraya berkata, ‘Kau seorang yang sial. Saya sudah mengadakan perjanjian dengan Muhammad dan ternyata dia tetap setia dengan perjanjiannya itu”.
Huyai menjawab, “Wahai Ka’ab, saya datang membawa berita gembira dan kemuliaan abadi. Saya datang kepadamu dengan membawa pimpinan Quraisy dan Ghathafan. Mereka sudah berjanji kepadaku untuk tidak akan meninggalkan negeri ini sebelum menumpas Muhammad dan para sahabatnya”.
Ka’ab menjawab, “Kalau begitu, kau telah mengundang kehinaan abadi.” Celaka kau, wahai Huyai, biarkanlah aku bersama dengan Muhammad!” Akan tetapi, Huyai tidak membiarkan Ka’ab melepaskan diri dari cengkramanannya, sampai ia mau melanggar perjanjian yang telah dibuat dengan Rasulullah. Dia mengadakan perjanjian dengan Huyai, “Kalau sampai Quraisy dan Ghathafan kembali dan tidak berhasil menumpas Muhammad, saya akan berjanji memasuki bentengmu dan hidup senasib dengan kau.”
Pada saat itu, kaum muslimin menderita ketakutan yang luar biasa  karena  harus menghadapi dua front: Quraisy dan Ghathafan dari luar serta Yahudi Bani Quraizhah dari dalam, seperti yang dilukiskan dalam Al Qur’an: “(Yaitu) ketika mereka datang kepadamu dari atas dan dari bawahmu, dan ketika tidak tetap lagi penglihatan (mu) dan hatimu naik menyesak sampai ketenggorokan dan kamu menyangka terhadap Allah dengan bermacam-macam purbasangka. Di situlah diuji orang-orang mukmin dan digoncangkan (hatinya) dengan goncangan yang sangat.” (QS. Al Ahzab: 10-11).
Malapetaka ini terjadi karena lebih dari dua puluh malam, kedua pasukan yang sudah berhadapan itu tidak dapat berbuat selain menggunakan panahnya  masing-masing. Tiba-tiba Nu’aim bin Mas’ud al Asyja’i datang menemui Rasulullah  dan berkata, “Wahai Rasulullah, aku ini sudah masuk Islam, tetapi kaumku belum ada yang tahu. Perintahlah aku sesuka hatimu”. Rasulullah menjawab, “Kamu hanya sendirian. Lakukanlah apa yang mungkin kamu lakukan untuk menyelamatkan kami karena peperangan itu tipu daya”.
Nu’aim  lalu pergi menemui tokoh-tokoh bani Quraizhah. Kebetulan di zaman jahiliyyah, mereka bersahabat . Nu’aim berkata kepada mereka, “Kalian sudah mengetahui hubungan baik antara aku dan kalian”. Mereka menjawab, “Memang, kami tidak mempunyai kecurigaan sedikitpun terhadapmu”. Lalu, sambungnya lagi, “Kalian telah membela Quraisy dan Ghathafan melawan Muhammad padahal mereka tidak senasib dengan kalian. Negeri ini adalah tanah airmu; disana terdapat kekayaan, anak-anak, dan isteri-isterimu, dan kalian tidak mungkin bisa meninggalkan semua itu, sedangkan Quraisy dan Ghathafan, kalau mereka melihat kemenangan, mereka akan ribut, kalau mereka melihat lain dari itu, mereka akan melarikan diri ke negeri mereka dan meninggalkan kalian menjadi makanan empuk Muhammad dan kalian pasti tidak akan sanggup melawannya. Janganlah kalian memeranginya sebelum kalian mendapat jaminan dari tokoh-tokoh mereka agar kalian yakin bahwa mereka tidak akan meninggalkan kalian sebelum mereka berhasil menumpas Muhammad”. Mereka menjawab, “Sungguh, nasihatmu itu tepat sekali.”
Kemudian Nu’aim pergi menemui Abu Sufyan dan tokoh Quraisy lainya, seraya berkata, “Kalian sudan mengetahui hubungan baikku dengan kalian dan kerengganganku dengan Rasulullah. Saya mendengar bahwa Bani Quraizhah menyesali tindakannya dan mereka telah mengirim delegasi kepada Muhammad dan menanyakan, ‘Apakah Anda mau menerima kalau kami  meminta jaminan tokoh-tokoh Quraisy dan Ghathafan, kemudian kami serahkan kepada Anda untuk dipenggal batang leher mereka, kemudian kami dan anda memperkuat persahabatan yang telah ada?” Tampaknya, tawaran mereka itu diterima baik. Jadi, kalau mereka meminta jaminan tokoh-tokoh kalian, janganlah kalian memenuhinyya meskipun hanya seorang saja”.
Nu’aim  lalu pergi menemui pimpinan Ghathafan dan berkata, “Kalian terbilang keluarga dan familiku sendiri”. Ia lalu memperingatkan  mereka seperti yang disampaikan kepada pimpinan Quraisy. Begitu Nu’aim pergi, Abu Sufyan mengirimkan delegasinya dibawah pimpinan Ikrimah bin Abu Jahal untuk menemui pimpinan Bani Quraizhah, seraya berkata kepada mereka, “Kami tidak bisa berlama-lama di sini. Kita harus segera melancarkan peperangan untuk menumpas Muhammad”.
Ternyata jawaban mereka persis seperti yang dikatakan Nu’aim, “Kami tidak bersedia berperang bersama dengan kalian kecuali kalau kalian mau  memberi jaminan yang meyakinkan kepada kami. Kami khawatir, kalian akan segera kembali ke negeri kalian dan membairkan kami menjadi umpan Muhammad sedang kami berada di negerinya”.
Delegasi Ikrimah kembali dari perkampungan Bani Quraizhah  dengan tangan hampa. Ia menyampaikan kepada Abu Sufyan semua yang didengarnya. Lalu, sambut Abu Sufyan, “Demi Allah benar sekali apa yang dikatakan  Nu’aim bin Mas’ud.”
Abu Sufyan lalu mengirimkan jawaban tegas kepada Bani Quraiszah, “Demi Allah kami tidak akan menyerahkan tokoh-tokoh kami seorangpun juga.” Berkata tokoh Bani Quraizah yang menerimannya, “Sungguh tepat apa yang dikatakan Nu’aim bun Mas’ud kepada kami”.
Allah mengacau-balaukan rencana jahat mereka, sementara itu, ke perkemahan Quraisy dan Ghathafan dikirimkan angin kencang yang memporak-porandakan kemah dan perlengkapannya, seperti yang dilukiskan Al-Qur’anul Karim: “Wahai orang-orang yang beriman, ingatlah akan nikmat Allah (yang telah dikurniakan) kepadamu ketika datang kepadamu tentara-tentara, lalu Kami kirimkan kepada mereka angin topan dan tentara yang tidak dapat kamu melihatnya. Dan adalah Allah Maha Melihat akan apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Ahzab: 9).
Abu Sufyan kabur kembali dengan pasukannya ke Mekkah. Rasulullah pada saat itu bersabda, “Kini kami yang akan menyerang mereka dan mereka tidak akan menyerang kami lagi”. Ternyata sabda Rasulullah itu tepat sekali, perjanjian damai antara Quraisy dan Rasulullah berhasil ditandatangani.
Dalam kesempatan baik ini, Rasulullah mengirimkan surat dan delegasinya ke seluruh penjuru bumi, mengundang raja-raja dan kepala negaranya untuk masuk agama Islam. Diantara surat-suratnya itu ada yang dikirimkan kepada Heraclius, Kaisar Bizantium, yang dibawa oleh Dahyah al Kullabi.
Konon, kaisar bersedia menerima tawaran Rasulullah itu, namun baginda khawatir terhadap reaksi rakyatnya. Ketika Heraclius ada di negeri Syam kebetulan banyak pedagang dari Mekkah sedang berdagang di sana. Mereka telah dihadapkan kepada baginda beberapa orang, antara lain Abu Sufyan. Heraclius mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepadanya seraya berkata, “Saya akan bertanya kepadamu. Kalau ia berbohong, sangkallah.”
Abu Sufyan berkata mengenang peristiwa itu, “Kalau saya tidak khawatir dicap pembohong, tentu saya akan berbohong kepadanya. Saya ditanyai tentang Nabi, saya berusaha memperkecil perannya, namun baginda tidak menghiraukan keterangan saya itu, lalu tanyanya tiba-tiba: Dia bertanya, “Bagaimana kedudukan keluarganya di antara kalian?” “Keluarganya terbilang keluarga bangsawan”. “Apakah ada diantara  keluarganya  yang mengaku Nabi?” “Tidak!”. “Apakah ada hak-haknya yang pernah kalian rampas?” “Tidak”. “Siapa para pengikutnya?” “Mereka terdiri atas para orang lemah, miskin, dan anak muda.” “Apakah para pengikutnya mencintai dan mematuhinya, atau meninggalkannya?” “Tidak ada yang mengikutinya lalu meninggalkannya”. “Bagaimana peperangan yang terjadi antara dia dan kamu?” “Sekali kami menang dan sekali lagi dia yang menang”. “Apakah dia pernah berbuat curang?” “Saya tidak pernah mencurigainya. Kini, kami sedang berdamai dengan dia, namun kami tidak saling curiga”.
Heraclius berkata lagi, “Saya bertanya kepadamu tentang nasabnya, Anda mengatakan bahwa dia terbilang keluarga bangsawan dan begitulah para nabi umumnya. Saya bertanya kepadamu, apakah ada diantara keluarganya yang mengaku nabi, Anda mengatakan tidak. Saya bertanya kepadamu, apakah ada hak-haknya yang kalian rampas, lalu dia bangkit untuk menuntutnya, anda mengatakan tidak. Saya bertanya kepadamu tentang para pengikutnya, anda mengatakan mereka terdiri atas para mustadh’afiin dan fakir miskin, dan memang begitulah pengikut para rasul. Saya bertanya kepadamu tentang para pengikutnya, apakah mereka mencintainya atau  meninggalkannya, anda mengatakan bahwa para pengikutnya mencintainya dan tidak ada yang meninggalkannya. Begitulah lezatnya keimanan apabila sudah memasuki kalbu seseorang, tidak akan sudi keluar lagi. Saya bertanya kepadamu, apakah ia pernah melakukan kecurangan, anda menjawab tidak. Kalau Anda mau percaya, dia pasti akan menaklukkan bumi yang ada dibawah telapak kakiku ini. Rasanya aku ingin sekali mencuci kedua kakinya. Nah, kini, silahkan anda melakukan tugas-tugas Anda.”
Selanjutnya, Abu Sufyan berkata, “Aku keluar dari hadapan kaisar Heraclius dengan rasa takjub, lalu berkata: ‘Sungguh menakjubkan keadaan Ibnu Abi Kabsyah ini (yakni Muhammad). Kaisar Romawi merasa takut kekuasaannya akan terancam”.
Akan tetapi, mengapa Abu Sufyan tidak cepat masuk Islam? Apakah ia ragu-ragu akan kejujuran Muhammad?
Raja Romawi tidak mengingkari kenabian Muhammad. Malah, kalau ia ada dihadapannya, tentu ia akan mencuci kedua kakinya. Sesungguhnya, rintangan utama yang menghalang-halangi Abu Sufyan masuk Islam tidak lain hanyalah soal kekuasaan dan kewibawaan, yaitu kepemimpinan Quraisy. Dia Khawatir semuanya itu akan jatuh ke tangan Muhammad, sampai ada diantara mereka yang nekat berkata: “Ya Allah, jika betul (Al Qur’an) ini, dialah yang benar di sisi-Mu, maka hujanilah kami dengan batu dari langit atau datangkanlah kepada kami azab pedih”. (QS. al Anfaal: 32).
Ternyata Allahlah yang menentukan segalanya itu. Abu Sufyan tidak lama memegang tampuk kepemimpinan atau tongkat komando. Sungguh benar apa yang dikatakan Rasulullah bahwa Quraisy sesudah perang  Khandaq tidak akan mampu menyerang kaum muslimin lagi, tetapi giliran kaum musliminlah yang akan menyerang mereka untuk menaklukkan kota Mekkah.
Memang benteng kaum kafir dan musyrik itu harus dikikis habis dari muka bumi.
Abu Sufyan mengetahui benar apa tujuan Rasulullah menaklukkan kota Mekkah. Kali ini, ia pergi seorang diri tanpa pasukan menuju ke Medinah, tidak membawa senjata dan perlengkapan apa pun.
Ia pergi ke Medinah dengan penuh rasa gelisah dan ketakutan. Setiba disana, ia langsung menemui putrinya, Ummu Habibah, isteri Rasulullah ketika ia hendak duduk diatas permadani yang biasa di duduki oleh Rasulullah, putrinya cepat-cepat menariknya dan menggulungnya.
Abu Sufyan marah sekali atas perlakuan putrinya itu dan berkata, “Apakah kau lebih menghargai permadani itu daripadaku?”. Dia berkata lagi,” Putriku, sungguh kamu sudah kerasukan setan.” Dia lalu keluar pergi menemui Rasulullah namun beliau tidak mau menjawabnya sepatah katapun.
Dia lalu keluar dan pergi menemui Abu Bakar, meminta agar ia mau membantunya memperlunak sikap Rasulullah tetapi Abu Bakar menjawabnya dengan tegas, “Saya tidak dapat melakukannya.”
Dia lalu pergi menemui Umar ibnul Khaththab melihat Abu Sufyan, ia cepat-cepat memasuki kemah Rasulullah. Dan memberitahukan hal itu seraya meminta, “Ya Rasulullah, berikanlah izin kepadaku untuk memenggal batang lehernya.” Abbas mendahuluinya dan berkata, “Ya Rasulullah, saya sudah melindungi dan menjaminya!” Rasulullah lalu memerintahkan, “Bawa pergilah dia dan bawa kembalilah nanti siang. Kami sudah memberinya perlindungan”.
Siang harinya, Abbas membawa Abu Sufyan menghadap Rasulullah lagi, Rasulullah menegurnya, “Celaka kau, Wahai Abu Sufyan. Apakah kau belum juga mau sadar bahwa tiada tuhan selain Allah?”. Abu Sufyan menjawab, “Tentu, hal itu tidak dapat saya menyangkalnya sedikit pun”.
Rasulullah menegurnya lagi, “Celaka kau Abu Sufyan, apakah kau belum juga sadar bahwa saya Rasul Allah?” Abu Sufyan menjawab, “Kalau soal ini, rasanya dalam jiwaku masih terdapat keberatan sedikit”. Abbas lalu membentaknya, “Celaka kau! Ucapkanlah syahadat dengan sebenarnya sebelum kepalamu berpisah dari tubuhmu” . Dia lalu mengucapkan syahadatain bersama dengannya, telah menyatakan islamnya juga: Hakim bin Hizam dan Budail bin Warqa’.
Rasulullah lalu menyuruh Abbas supaya menahan Abu Sufyan hingga usai parade militer, ‘Tahan dia sampai melihat pawai tentara Allah.” Abbas berkata kepada Rasulullah, “Ya Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan senang juga pada pujian. Berikanlah sesuatu yang ia bisa banggakan kepada kaumnya.”
Rasulullah menjawab, “Siapa yang memasuki rumah Abu Sufyan, aman; siapa yang memasuki rumah Hakim bin Hizam, aman; siapa yagn memasuki Masjidil Haram, aman; dan siapa yang menutup pintu rumahnya, dia juga aman.” Selanjutnya, Abbas bin Abdul Muththalib berkata, “Saya mengajak Abu Sufyan duduk diatas sebuah puncak gunung, lalu pawai tentara Allah itu mulai bergerak di hadapan kami, rombongan demi rombongan: Kabilah Aslam, Juhainah, barisan Muhajirin dan Anshar, dan seterusnya. Setelah Abu Sufyan melihat pameran kekuatan itu, ia berkata, ‘Sungguh besar kerajaan anak saudaramu itu.” Saya menjawabnya, ‘Celaka kau. Ia bukan kerajaan, tetapi kenabian.’ Abu Sufyan berkata, ‘Benar juga.’
Abbas lalu memerintahkan kepada Abu Sufyan supaya segera kembali ke Mekkah dan memperingatkan kaumnya jangan sampai mereka melanggar perintah Rasulullah. Abu Sufyan dan Hakim bin Hizam segera pulang kembali ke kota Mekkah. Setiba di Masjidil Haram, keduanya berteriak-teriak memanggil kaumnya, Wahai kaum Quraisy, pasukan Muhammad telah datang dengan kekuatan yang tidak terbilang besarnya”.
Keduanya berkata lagi, “Siapa yang memasuki rumahku, dia akan aman; siapa yang memasuki Masjidil Haram, dia akan aman; siapa yang menutup pintunya, dia akan aman. Wahai kaum Quraisy, masuklah Islam, kalian akan selamat.”
Allah menakdirkan Abu Sufyan masuk Islam dan menjadi penyeru Islam. Orang yang selama bertahun-tahun menjadi panglima kaum musyrikin, kini sudah menjadi seorang tentara Allah. Ayah Mu’awiyah, penulis wahyu Rasulullah kini sudah masuk Islam. Kini, ia ikut serta menyebarkan agama Islam ke seluruh penjuru bumi yang jauh.
Ayah Ummu Habibah, isteri Rasulullah sudah masuk Islam. Ayah Yazid bin Abi Sufyan, kini sudah masuk Islam. Isterinya pun, yang dinyatakan sebagai salah seorang penjahat perang, telah masuk Islam juga, malah ia telah menghancur luluhkan berhala yang ada dirumahnya, seraya berkata, “Selama ini, kami tertipu oleh kamu.”
Kehidupan Abu Sufyan berjalan mulus dalam pengkuan Islam. Sejarah tidak mencatat sesuatu yang berarti kecuali sesudah wafatnya Rasulullah ketika kaum Muhajirin dan Anshar mengadakan rapat di Saqifah Bani Saa’idah untuk memilih Khalifah kaum muslimin. Ali bin Abu Thalib tidak menghadiri bai’at itu karena sedang sibuk mengurus jenazah Rasulullah. Ternyata kaum muslimin telah memilih Abu Bakar sebagai Khalifah Rasulullah.
Abu Bakar adalah laki-laki pertama yang menyatakan beriman kepada dakwah Rasulullah, orang pertama yang mempercayainya ketika kembali dari Isra’ dan Mi’raj. Ia berkata kepada orang membawa berita itu kepadanya, “Kalau dia (Muhammad) sudah mengatakan demikian, tentu beritanya itu benar.” Dia adalah kawan senasib dan sependeritaan dengan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam ketika berada dalam gua, ketika keduanya hendak berhijrah ke Madinah.
Pada saat-saat kritis seperti itu, Abu Sufyan tampil kepermukaan seraya berkata, “Tampaknya, melihat pencemaran yang sulit dihapus kecuali dengan darah, Wahai keturunan Abdi Manaf. Apa hak Abu Bakar menangani urusanmu?” Ia lalu datang kepada Ali bin Abi Thalib seraya mengulurkan tangannya dan berkata, “Ulurkan tanganmu, saya akan membai’atmu”.  Ali bin Abi Thalib membentaknya seraya berkata kepadanya, “Kamu tidak menghendaki dari perbuatan itu selain untuk membangkitkan fitnah. Saya tidak butuh nasihatmu.”
Dalam perang Yarmuk, ia ingin menebus semua dosanya terhadap Islam dan kaum muslimin. Ia berperang mati-matian sampai salah satu matanya tercongkel. Ia meninggal dunia pada tahun 33 Hijrah di usia 88 tahun pada zaman Khalifah Utsman bin Affan. Jenazahnya dishalati oleh putranya, Mu’awiyah, dan dikuburkan di Baqi’.
Sebab Turunya Ayat
Menurut Muhammad bin Ishaq dan murid-muridnya, ketika Abu Sufyan berhasil menyelamatkan kafilah Quraisy dari Rasulullah dan para sahabatnya, sementara tokoh-tokoh Quraisy yang ingin melindungi kafilah itu berhasil diterwaskan dalam perang Badar, maka timbullah inisiatif Abu Sufyan untuk mengobarkan peperangan yang lebih dahsyat terhadap  kaum muslimin dengan mengerahkan pasukan yang lebih besar dan terlatih, dan menghimpun dana yang lebih banyak, termasuk hasil penjualan barang dagangan dari kafilah yang berhasil diselamatkannya itu. Ia berkata kepada kaumnya, “Wahai kaum Quraisy, sesungguhnya Muhammad telah membunuh tokoh-tokoh kalian maka dukunglah kami untuk menuntut balas dengan harta yang dapat kami selamatkan ini”.
“Sesungguhnya orang-orang yang kafir itu, menafkahkan harta mereka untuk menghalangi (orang) dari jalan Allah. Mereka akan menafkahkan harta itu, kemudian menjadi sesalan bagi mereka dan mereka akan dikalahkan. Dan ke dalam neraka Jahanamlah orang-orang yang kafir itu dikumpulkan. Supaya Allah memisahkan (golongan) buruk dari yang baik dan menjadikan (golongan) yang buruk itu sebagiannya diatas sebagian yang lain, lalu kesemuanya ditumpukkan-Nya dan dimasukkan-Nya ke dalam neraka Jahanam. Mereka itulah orang-orang yang merugi”. (QS. Al Anfaal: 36-37).
Renungan
Dirirwayatkan oleh ‘Urwah bin az Zubair bahwa Aisyah pernah bertanya kepada Rasulullah, “Ya Rasulullah, apakah engkau pernah merasa menghadapi kesulitan lebih dahsyat dari pada Perang Uhud?” Beliau menajwab, “Aku telah menghadapi berbagai kesulitan yang lebih dahsyat dari kaummu, terutama ketika aku menawarkan Islam pada hari Aqibah kepada Ibnu Abdi Yalil bin Abdi Kulal, namun dia tidak menjawab sepatah katapun. Kemudian, aku pergi dengan perasan pedih dan sedih. Aku tidak sadar, tiba-tiba aku tiba di Qarnits Tsa’alib.
Ketika aku mengangkat kepalaku, tiba-tiba aku melihat awan sedang memayungiku dan mendengar Jibril memanggilku, ‘Sesungguhnya Allah telah mendengar omongan kaummu dan reaksi mereka terhadap tawaran-tawaranmu, dan Dia telah mengirimkan Raja Pegunungan kepadamu agar kamu memerintahkan kepadanya apa yang kamu inginkan terhadap kaummu itu.”
Ujar Rasulullah selanjutnya, “Lalu, Raja Pegunungan itu  mengucapkan salam kepadaku dan berkata, ‘Ya Muhammad, Allah telah mendengar omongan-omongan kaummu terhadapmu. Aku Raja Pegunungan, Rabbmu telah mengutusku kepadamu untuk diperintahkan sesuai dengan yang kamu inginkan. Kalau kamu mau, aku akan menimpakan pegunungan ini di atas mereka.’ Aku menjawab, ‘Tidak, malah aku berharap Allah akan melahirkan dari mereka itu orang-orang yang akan menyembah Allah dan tidak musyrik sedikitpun kepada-Nya”.
Siapa gerangan mereka selalu menghalang-halangi penyebaran dakwah dan menyakiti hati Rasulullah itu? Siapa gerangan orang yang senantiasa menyiksa kaum mustadh’afin di Mekkah dan lain-lain, setelah mereka memaklumatkan Islamnya? Siapa gerangan mereka yang telah mengusir Rasulullah keluar dari kampung halamannya dan menghalang-halangi penyebaran dakwahnya?
Sejarah mencatat nama-nama mereka dan tidak akan melupakannya. Mereka telah mendongakkan kepalanya, menutup rapat pintu hatinya, memejamkan matanya sehingga tidak melihat cahaya kebenaran memancar di hadapannya, dan memalingkan perhatian dari tanda-tanda hidayah dan keimanan.
Adapun tokoh-tokoh sesat yang paling terkenal di antara mereka ialah: Abu Jahal (al-Hakam bin Hisyam), Utbah bin Ra’biah, Syaibah bin Ra’biah, al-Walid bin Uqbah, Umayyah bin Khalaf, Uqbah bin Mu’ith dan Abu Sufyan bin Harb.
Rasulullah tidak mau mengutuk dan mendoakan kaumnya agar mendapat siksa seperti halnya umat para nabi yang terdahulu, setelah mereka tetap membangkang tidak mau menyambut dakwah para nabi mereka.
Rasulullah bisa saja meneladani para nabi yang sebelumnya, memohon kepada Rabbnya untuk menghukum kaumnya yang jahat dan angkara murka itu, namun baginda sebagai Nabiyur-rahmah hanya bisa mengucapkan, “Semoga Allah akan melahirkan dari mereka keturunan yang mengabdikan diri kepada Allah.”
Sejarah telah mencatat juga kepada kita, berapa banyak dari keturunan mereka orang yang paling gigih memerangi Rasulullah dan agamanya. Begitu juga dengan orang yang telah ikut serta menyebarkan agama ini ke seluruh penjuru bumi. Mereka sebagai kaum muslimin, baik sebagai prajurit, panglima, maupun sebagai dai, telah berhasil menyampaikan agama tauhid ini kepada kita.
Ikrimah bin Abu Jahal sebagai contoh, ketika ia menemui Rasulullah untuk menyatakan Islamnya, ia disambut baginda, “Marhaban, selamat datang kepada sang musafir yang muhajir.” Dia berkata, “Ya Rasulullah, ajarilah aku sesuatu yang terbaik yang baginda ketahui supaya aku mengucapkannya.”
Rasulullah memerintahkan, “Ucapkanlah syahadatain”. Ikrimah mengucapkan syahadatain, lalu ia memohon ampun atas dosa-dosanya  yang lalu dan Rasulullah pun memberinya ampun. Kemudian, ia menyatakan janji, “Demi Allah, berapa besar dana yang telah aku keluarkan selama ini untuk menghalang-halangi penyebaran agama Allah, kini aku akan menebusnya dengan pengeluaran yang serupa dalam upaya mengembangkan agamaNya; berapa besar kegigihanku untuk memenangkan agama dan penganut agama itu”.
Ternyata, kesaksianya itu ia penuhi dengan sebaik-baiknya. Ia berusaha menjadi ahli ibadah dan agama yang takwa, dan sekaligus menjadi pahalwan perang yang patut dibanggakan. Akhirnya, ia syahid dalam perang Yarmuk.
Begitu pula dengan Khalid bin Walid, seperti yang dilukiskan oleh Rasulullah kepada para sahabatnya, ketika Khalid masuk Islam. Rasulullah bersabda, “Kota Mekkah telah melemparkan anak tersayangnya pada kalian.”
Sementara itu, Abu Bakar ash Shidiq berkata, “Kaum wanita kita belum mampu melahirkan anak seperti Khalid.” Rasulullah menggelarinya Saifullah (Pedang Allah) terhadap kaum kafir dan musyrik. Tidak ada yang berani di hadapannya untuk menghadang dakwah kepada Allah.
Begitu pula dengan Abu Sufyan, yang senantiasa menjadi pimpinan tertinggi Quraisy dalam memerangi Rasulullah dan kaum uslimin, Allah berkenan kepadanya memberikan anak-anak yang besar jasanya dalam mengembangkan agama Allah, antara lain: Yazid bin Abi Sufyan yang  digelari “Yazid al-Khair”. Ia berperang di pihak Rasulullah di Hunain dan mendapat kemenangan perang di sana sebanyak seratus unta dan empat puluh uqiya (ukuran emas) yang ditimbangkan oleh Bilal. Dalam pemerintahan Khalifah Abu Bakar, ia diangkat menjadi seorang pembantunya, dan ketika hendak pergi ke posnya, Khalifah mengantarnya dengan berjalan kaki.
Diantaranya juga Mu’awiyah bin Abu Sufyan, penulis wahyu Rasulullah. Sungguh benar apa yang diramalkan Rasulullah bahwa agama Islam akan dimasuki oleh banyak umat secara beramai-ramai dan berbondong-bondong. Lalu, mana para tiran yang angkara murka itu? Mana mereka yang dengan gigih hendak menghalang-halangi penyebaran agama Allah itu? Mana para penguasa diktator yang mengangkat dirinya sebagai tuhan dimuka bumi, yang mendekatkan orang yang dicintainya, dan menyiksa serta menganiaya orang yang dibencinya meskipun tanpa salah dan dosa. Mana mereka itu sekarang? Mereka sudah pergi setelah menderita kekalahan, baik karena tewas, maupun terusir, sementara agama Allah tetap berjaya, panji kebenaran senantiasa berkibar-kibar dengan megah, sesuai dengan janji-Nya untuk dimenangkan di atas agama-agama yang lainnya (QS. at-Taubah: 33).
Allah juga sudah berjanji, “Bahwasanya bumi ini dipusakai hamba-hamba-Ku yang saleh”. (QS. Al Anbiya’: 105).
Apakah ada diantara para tiran abad ke-21, para penguasa angkara murka yang merusak bumi dan merusak semua yang hidup diatasnya, yang mau merenunginya? Apakah mereka belum juga mau sadar bahwa pada akhirnya tentara Allah jugalah yang akan meraih kemenangan akhir? Apakah mereka masih saja belum sadar, sebelum berbagai musibah dan petaka datang bertubi-tubi menimpa mereka? Sesungguhnya kemenangan Allah sudah dekat sekali. Pada saat itu kaum mukminin akan bersuka cita atas kemenangan Allah itu.

Diolah dari berbagai sumber.

ABU MUSA AL ASY’ARI

08 Des
“Yang penting keikhlasan, kemudian terjadilah apa yang akan terjadi.”
Tatkala Umar bin Khatthab mengirimnya ke Bashrah untuk menjadi panglima dan gubernur, dikumpulkannyalah penduduk lain berpidato di hadapan mereka, katanya, “Sesungguhnya Umar telah mengirimku kepada kamu sekalian, agar aku mengajarkan kepada kalian kitab Tuhan kalian dan Sunnah Nabi kalian, serta membersihkan jalan hidup kalian.”
Orang-orang sama heran dan bertanya-tanya. Mereka mengerti apa yang dimaksud dengan mendidik dan mengajari mereka tentang agama, yang memang menjadi kewajiban gubernur dan panglima. Tetapi bahwa tugas gubernur itu juga membersihkan jalan hidup mereka, hal ini memang amat mengherankan dan menjadi suatu tanda tanya. Maka siapakah kiranya gubernur ini, yang mengenai dirinya Hasan Basri pernah berkata, “Tak seorang pengendarapun yang datang ke Basrah yang  lebih berjasa kepada penduduknya selain dia.”
Ia adalah Abdullah bin Qeis dengan gelar Abu Musa al Asy’ari.  Ia  meninggalkan  negeri dan kampung halamannya Yaman menuju Mekah, segera setelah mendengar munculnya seorang Rasulullah di sana yang menyerukan tauhid, dan menyeru beribadah kepada Allah berdasarkan penalaran dan pengertian, serta menyuruh berakhlaq mulia.
Di Mekkah dihabiskan waktunya untuk duduk di hadapan Rasulullah menerima petunjuk dan keimanan daripadanya. Lalu pulanglah ia ke negerinya membawa kalimat Allah, baru kembali lagi kepada Rasulullah tidak lama setelah selesainya pembebasan Khaibar. Kebetulan kedatangannya ini bersamaan dengan tibanya Ja’far bin Abi Thalib bersama rombongannya dari Habsyi, hingga semua mereka mendapat bagian saham dari hasil pertempuran Khaibar.
Kali ini, Abu Musa tidaklah datang seorang diri, tetapi membawa lebih dari lima puluh orang laki-laki penduduk Yaman yang telah diajarinya tentang agama Islam, serta dua orang saudara kandungnya yang bernama Abu Ruhum dan Abu Burdah. Rombongan ini, bahkan seluruh kaum mereka dinamakan Rasulullah golongan Asy’ari, serta dilukiskannya bahwa mereka adalah orang-orang yang paling lembut hatinya di antara sesamanya. Dan sering mereka diambilnya sebagai  tamsil perbandingan bagi para shahabatnya, sabda beliau, “Orang-orang Asy’ari ini  bila mereka kekurangan makanan dalam peperangan atau ditimpa paceklik, maka mereka kumpulkan semua makanan yang mereka miliki pada selembar kain, lalu mereka bagi rata. Maka mereka termasuk golonganku, dan aku termasuk golongan mereka.” Mulai saat itu, Abu Musa pun menempati kedudukannya yang tinggi dan tetap di kalangan kaum muslimin dan mu’minin yang ditakdirkan beroleh nasib mujur menjadi shahabat Rasulullah dan muridnya, dan yang menjadi penyebar Islam ke seluruh dunia, pada setiap masa zaman.
Abu Musa merupakan gabungan yang istimewa dari sifat-sifat utama. Ia adalah prajurit yang gagah berani dan pejuang yang tangguh bila berada di medan perang. Tetapi ia juga seorang pahlawan perdamaian, peramah dan tenang, keramahan dan ketenangannya mencapai batas maksimal. Seorang ahli hukum yang cerdas dan berfikiran sehat, yang mempu mengerahkan perhatian kepada kunei dan pokok persoalan, serta mencapai hasil gemilang dalam berfatwa dan mengambil keputusan, sampai ada yang mengatakan, “Qadli atau hakim ummat ini ada empat orang, yaitu Umar, Ali, Abu Musa dan Zaid bin Tsabit.”
Di samping itu ia berkepribadian suci hingga orang yang menipunya di jalan Allah, pasti akan tertipu sendiri, tak ubahnya seperti senjata makan tuan. Abu Musa sangat bertanggung jawab terhadap tugasnya dan besar perhatiannya terhadap sesama manusia. Dan andainya kita ingin memilih suatu semboyan dari kenyataan hidupnya, maka semboyan itu akan berbunyi, “Yang penting ialah ikhlas, kemudian biarlah terjadi apa yang akan terjadi.”
Dalam arena perjuangan al Asy’ari memikul tanggung jawab dengan penuh keberanian, hingga menyebabkan Rasulullah berkata mengenai dirinya, “Pemimpin dari orang-orang berkuda ialah Abu Musa.” Dan sebagai pejuang, Abu Musa melukiskan gambaran hidupnya sebagai berikut, “Kami pernah pergi menghadapi suatu peperangan bersama Rasulullah, hingga sepatu kami pecah berlobang-lobang, tidak ketinggalan sepatuku, bahkan kuku jariku habis terkelupas, sampai-sampai kami terpaksa membalut telapak kaki kami dengan sobekan kain.”
Keramahan, kedamaian dan ketenangannya, jangan harap menguntungkan pihak musuh dalam sesuatu peperangan, karena dalam suasana seperti ini, ia akan meninjau sesuatu dengan sejelas-jelasnya, dan akan menyelesaikannya dengan tekad yang tak kenal menyerah.
Pernah terjadi ketika Kaum Muslimin membebaskan negeri Persi, Al-Asy’ari dengan tentaranya menduduki kota Isfahan. Penduduknya minta berdamai dengan perjanjian bahwa mereka akan membayar upeti. Tetapi dalam perjanjian itu mereka tidak jujur, tujuan mereka hanyalah untuk mengulur waktu untuk mempersiapkan diri dan akan memukul kaum muslimin secara curang.
Hanya kearifan Abu Musa yang tak pernah lenyap di saat-saat yang diperlukan,  mencium kebusukan niat yang mereka sembunyikan. Maka tatkala mereka bermaksud hendak melancarkan pukulan mereka itu, Abu Musa tidaklah terkejut, bahkan telah lebih dulu siap untuk melayani dan menghadapi mereka. Terjadiiah pertempuran, dan belum lagi sampai tengah hari, Abu Musa telah beroleh kemenangan yang gemilang.
Dalam medan tempur melawan imperium Persi, Abu Musa al-Asy’ari mempunyai saham dan jasa besar. Bahkan dalam pertempuran di Tustar, yang dijadikan oleh Hurmuzan sebagai benteng pertahanan terakhir dan tempat ia bersama tentaranya mengundurkan diri, Abu Musa menjadi pahlawan dan bintang lapangannya. Pada saat itu Umar ibnul Khatthab mengirimkan sejumlah tentara yang tidak sedikit, yang dipimpin oleh ‘Ammar bin Yasir, Barra’ bin Malik, Anas bin Malik, Majzaah al-Bakri dan Salamah bin Raja’.
Dan kedua tentara itu pun, yakni tentara Islam di bawah pimpinan Abu Musa, dan tentara Persi di bawah pimpinan Hurmuzan, bertemulah dalam suatu pertempuran dahsyat. Tentara Persi menarik diri ke dalam kota Tustar yang mereka perkuat menjadi benteng. Kota itu dikepung oleh kaum muslimin berhari-hari lamanya, hingga akhirnya Abu Musa mempergunakan akal muslihatnya.
Dikirimnya beberapa orang menyamar sebagai pedagang Persia membawa dua ratus ekor kuda disertai beberapa prajurit perintis menyamar sebagai pengembala. Pintu gerbang kota pun dibuka untuk mempersilakan para pedagang masuk. Secepat pintu benteng itu dibuka, prajurit-prajurit pun berloncatan menerkam para penjaga dan pertempuran kecil pun terjadi.
Abu Musa beserta pasukannya tidak membuang waktu lagi menyerbu  memasuki kota, pertempuran dahsyat terjadi, tapi tak berapa lama seluruh kota diduduki dan panglima beserta seluruh pasukannya menyerah kalah, Panglima musuh beserta para komandan pasukan oleh Abu Musa dikirim ke Madinah, menyerahkan nasib mereka pada Amirul Mu’minin. Tetapi baru saja prajurit yang kaya dengan pengalaman dan dahsyat ini meninggalkan medan, ia pun telah beralih rupa menjadi seorang hamba yang rajin bertaubat, sering menangis dan amat jinak bagaikan burung merpati. Ia membaca al Quran  dengan suara yang menggetarkan tail hati para pendengarnya, hingga mengenai ini Rasulullah pernah bersabda, “Sungguh, Abu Musa telah diberi Allah seruling dari seruling-seruling keluarga Daud.”
Dan setiap Umar melihatnya, dipanggilnya dan disuruhnya untuk membacakan Kitabullah, “Bangkitlah kerinduan kami kepada Tuhan kami, wahai Abu Musa.” Begitu pula dalam peperangan, ia tidak ikut serta, kecuali ketika melawan tentara musyrik, yakni tentara yang menentang Agama dan bermaksud hendak memadamkan nur atau cahaya Ilahi. Adapun peperangan antara sesama muslim, maka ia menyingkirkan diri dan tak hendak terlibat di dalamnya. Pendiriannya ini jelas terlihat dalam perselisihan antara Ali dan Mu’awiyah, dan pada peperangan yang apinya berkobar ketika itu antara sesama Muslim.
Dan mungkin pokok pembicaraan kita sekarang ini akan dapat mengungkapkan prinsip hidupnya yang paling terkenal yaitu pendiriannya dalam tahkim, pengadilan atau penyelesaian sengketa antara Ali dan Mu’awiyah. Pendiriannya ini sering dikemukakan sebagai saksi dan bukti atas kebaikan hatinya yang berlebihan, hingga menjadi makanan empuk bagi orang yang menipudayakannya. Tetapi sebagaimana akan kita lihat kelak, pendirian ini walaupun mungkin agak tergesa-gesa dan terdapat padanya kecerobohan, hanyalah mengungkapkan kebesaran shahabat yang mulia ini, baik kebesaran jiwa dan kebesaran keimanannya kepada yang haq serta kepercayaannya terhadap sesama kawan.
Pendapat Abu Musa mengenai soal tahkim ini dapat kita simpulkan bahwa, memperhatikan adanya peperangan sesama kaum muslimin, dan adanya gejala masing-masing mempertahankan pemimpin dan kepala pemerintahannya, suasana antara kedua belah pihak sudah melantur sedemikian jauh serta teramat gawat menyebabkan nasib seluruh ummat Islam telah berada di tepi jurang yang amat dalam, maka menurut Abu Musa, suasana ini baru diubah dan dirombak dari bermula secara keseluruhan.
Sesungguhnya perang saudara yang terjadi ketika itu, hanya berkisar pada pribadi kepala negara atau khalifah yang diperebutkan oleh dua golongan kaum muslimin. Maka pemecahannya ialah hendaklah Ali meletakkan jabatannya untuk sementara waktu, begitu pula Mu’awiyah baru turun, kemudian urusan diserahkan lagi dari bermula kepada kaum muslimin yang dengan jalan musyawarat akan memilih khalifah yang mereka kehendaki.
Demikianlah analisa Abu Musa ini mengenai kasus tersebut, dan demikian pula cara pemecahannya. Benar, bahwa Ali telah diangkat menjadi khalifah secara sah. Dan benar pula bahwa pembangkangan yang tidak beralasan, tidak dapat dibiarkan mencapai maksudnya untuk menggugurkan yang haq yang diakui syari’at. Hanya menurut Abu Musa, pertikaian sekarang ini telah menjadi pertikaian antara penduduk Iraq dan penduduk Syria, yang memerlukan pemikiran dan pemecahan dengan cara baru, karena pengkhianatan Mu’awiyah sekarang ini telah  menjadi pembangkangan penduduk Syria, sehingga semua pertikaian itu tidaklah hanya pertikaian dalam pendapat dan pilihan saja.
Tetapi kesemuanya itu telah berlarut-larut menjadi perang saudara dahsyat yang telah meminta ribuan korban dari kedua belah pihak, dan masih mengancam Islam dan kaum muslimin dengan akibat yang lebih parah. Maka melenyapkan sebab-sebab pertikaian dan peperangan serta menghindarkan benih-benih dan biang keladinya, bagi Abu Musa merupakan titik tolak untuk mencapai penyelesaian.
Pada mulanya, sesudah menerima rencana tahkim, Ali bermaksud akan mengangkat Abdullah bin Abbas atau shahabat lainnya sebagai wakil dari pihaknya. Tetapi golongan besar yang berpengaruh dari shahabat dan tentaranya memaksanya untuk memilih Abu Musa al Asy’ari. Alasan mereka karena Abu Musa tidak sedikit pun ikut campur dalam pertikaian antara Ali dan Mu’awiyah sejak semula. Bahkan setelah ia putus asa membawa kedua belah pihak kepada saling pengertian, kepada perdamaian dan menghentikan peperangan, ia menjauhkan diri dari pihak-pihak yang bersengketa itu. Maka ditinjau dari segi ini, ia adalah orang yang paling tepat untuk melaksanakan tahkim.
Mengenai keimanan Abu Musa, begitupun tentang kejujuran dan ketulusannya, tak sedikit pun diragukan oleh Ali. Hanya ia tahu betul maksud-maksud tertentu pihak lain dan pengandalan mereka kepada anggar lidah dan tipu muslihat. Sedang Abu Musa, walaupun ia seorang yang ahli dan berilmu, tidak menyukai siasat anggar lidah dan tipu muslihat ini, serta ia ingin memperlakukan orang dengan kejujurannya dan bukan dengan kepintarannya. Karena itu Ali khawatir Abu Musa akan tertipu oleh orang-orang itu, dan tahkim hanya akan beralih rupa menjadi anggar lidah dari sebelah pihak yang akan tambah merusak keadaan.
Dan tahkim antara kedua belah pihak itu pun mulailah. Abu Musa bertindak sebagai wakil dari pihak Ali sedang Amr bin ‘Ash sebagai wakil dari pihak Mu’awiyah. Dan sesungguhnya  ‘Amr bin ‘Ash mengandalkan ketajaman otak dan kelihaiannya yang luar biasa untuk memenangkan pihak Mu’awiyah.
Pertemuan antara kedua orang wakil itu, yakni Asy’ari dan ‘Amr, didahului dengan diajukannya suatu usul yang dilontarkan oleh Abu Musa, yang maksudnya agar kedua hakim menyetujui dicalonkannya, bahkan dimaklumkannya Abdullah bin Umar sebagai khalifah kaum muslimin, karena tidak seorang pun di antara umumnya kaum muslimin yang tidak mencintai, menghormati dan memuliakannya.
Mendengar arah pembicaraan Abu Musa ini, ‘Amr bin ‘Ash pun meiihat suatu kesempatan emas yang tak akan dibiarkannya berlalu begitu saja. Dan maksud usul dari Abu Musa ialah bahwa ia sudah tidak terikat lagi dengan pihak yang diwakilinya, yakni Imam Ali. Artinya pula bahwa ia bersedia menyerahkan khalifah kepada pihak lain dari kalangan shahabat-shahabat Rasulullah, dengan alasan bahwa ia telah mengusulkan  Abdullah bin Umar.
Demikianlah dengan kelicinannya, ‘Amr menemukan pintu yang lebar untuk mencapai tujuannya, hingga ia tetap mengusulkan Mu’awiyah. Kemudian diusulkannya pula puteranya sendiri Abdullah bin ‘Amr yang memang mempunyai kedudukan tinggi di kalangan para shahabat Rasulullah. Kecerdikan ‘Amr ini, terbaca oleh keahlian Abu Musa. Karena demi dilihatnya ‘Amr mengambil prinsip pencalonan itu sebagai dasar bagi perundingan dan tahkim, ia pun memutar kendali ke arab yang lebih aman. Secara tak terduga dinyatakannya kepada ‘Amr bahwa pemilihan khalifah itu adalah hak seluruh kaum muslimin, sedang Allah telah menetapkan bahwa segala  urusan  mereka hendaklah  diperundingkan  di antara mereka. Maka hendaklah soal pemilihan itu diserahkan hanya kepada mereka bersama.
Abu Musa adalah orang kepercayaan dan kesayangan Rasulullah juga menjadi kepercayaan dan kesayangan para khalifah dan shahabat-shahabatnya. Sewaktu Rasulullah masih hidup, ia diangkatnya bersama Mu’adz bin Jabal sebagai penguasa di Yaman. Dan setelah Rasulullah wafat, ia kembali ke Madinah untuk memikul tanggung jawabnya dalam jihad besar yang sedang diterjuni oleh tentara Islam terhadap Persia dan Romawi.
Di masa Umar, Amirul Mu’minin mengangkatnya sebagai gubernur di Bashrah, sedang khalifah Utsman mengangkatnya menjadi gubernur di Kufah. Abu Musa termasuk ahli al Quran menghafalnya, mendalami dan mengamalkannya. Di antara ucapan-ucapannya yang memberikan bimbingan mengenai al-Quran itu ialah:
“Ikutilah  al Quran dan jangan kalian berharap akan diikuti oleh al Quran.”
Ia juga termasuk ahli ibadah yang tabah. Waktu-waktu siang di musim panas, yang panasnya menyesak nafas, amat dirindukan kedatangannya oleh Abu Musa, dengan tujuan akan puasa padanya, katanya, “Semoga rasa haus di panas terik ini akan menjadi pelepas dahaga bagi kita di hari qiamat nanti.”
Dan pada suatu hari yang lembut, ajal pun datang menyambut. Wajah menyinarkan cahaya cemerlang, wajah seorang yang mengharapkan rahmat serta pahala Allah. Kalimat yang selalu diulang-ulang, dan menjadi buah bibimya, sepanjang hayatnya yang diliputi keimanan itu, diulang dan menjadi buah bibirnya pula di saat ia hendak pergi berlalu. Kalimat-kalimat itu ialah, “Ya Allah, Engkaulah Maha Penyelamat, dan dari-Mu-lah kumohon Keselamatan.”
Kode Iklan Anda disini

AMR BIN ‘ASH

30 Des
“Pembebas Mesir Dari Cengkeraman Romawi”
Ada tiga orang gembong Quraisy yang amat menyusahkan Rasulullah disebabkan sengitnya perlawanan mereka terhadap dakwahnya dan siksaan mereka terhadap shahabatnya. Maka Rasulullah selalu berdo’a dan memohon kepada Tuhannya agar menurunkan adzabnya pada mereka. Tiba-tiba  sementara ia berdo’a dan memohon  itu, turunlah wahyu atas kalbunya berupa ayat yang mulia ini:  “Tak ada sedikitpun campur tanganmu dalam urusan mereka itu atau Allah menerima taubat mereka, atau mengazab mereka, karena sesungguhnya mereka itu orang-orang yang zalim.” (QS. Ali Imran: 128).
Rasulullah memahami bahwa maksud ayat itu ialah menyuruhnya agar menghentikan do’a untuk menyiksa mereka serta menyerahkan urusan mereka kepada Allah semata. Kemungkinan, mereka tetap berada dalam keaniayaan hingga akan menerima adzab-Nya. Atau mereka bertaubat dan Allah menerima taubat mereka hingga akan mempereroleh rahmat karunia-Nya.
Maka Amr bin ‘Ash adalah salah satu dari ketiga orang tersebut. Allah memilihkan bagi mereka jalan untuk bertaubat dan menerima rahmat, maka ditunjuki-Nya mereka jalan untuk menganut Islam, dan Amr bin ‘Ash pun beralih rupa menjadi seorang Muslim pejuang, dan salah seorang panglima yang gagah berani.
Dan bagaimana pun juga sebagian dari pendiriannya yang arah pandangannya tak dapat kita terima, namun peranannya sebagai seorang shahabat yang mulia, yang telah memberi dan berbuat jasa, berjuang dan berusaha, akan selalu membuka mata dan hati kita terhadap dirinya.
Dan di sini di bumi Mesir sendiri, orang-orang yang memandang Islam itu adalah Agama yang lurus dan mulia, dan melihat pada diri Rasulullah rahmat dan nikmat serta karunia, serta penyampai kebenaran utama, yang menyeru kepada Allah berdasarkan pemikiran dan mengilhami kehidupan ini dengan sebagian besar dari kebenaran dan ketaqwaan, orang-orang yang beriman itu akan memendam rasa cinta kasih kepada laki-laki, yang oleh takdir dijadikan alat-alat bagaimanapun untuk memberikan Islam ke haribaan Mesir, dan menyerahkan Mesir ke pangkuan Islam. Maka alangkah tinggi nilai hadiah itu, dan alangkah besar jasa pemberinya. Sementara laki-laki yang menjadi taqdir dan dicintai oleh mereka itu, itulah dia Amr bin ‘Ash.
Para muarrikh atau ahli-ahli sejarah biasa menggelari Amr dengan “Penakluk Mesir”. Tetapi, menurut kita gelar ini tidaklah tepat dan bukan pada tempatnya. Mungkin gelar yang paling tepat untuk Amr ini dengan memanggilnya “Pembebas Mesir”. Islam membuka negeri itu bukanlah menurut pengertian yang lazim digunakan di masa modern ini, tetapi maksudnya tiada lain ialah membebaskannya dari cengkraman dua kerajaan besar yang menimpakan kepada negeri ini serta rakyatnya perbudakan dan penindasan yang dahsyat, yaitu imperium Persi dan Romawi.
Mesir sendiri, ketika pasukan perintis tentara Islam memasuki wilayahnya, merupakan jajahan dari Romawi, sementara perjuangan penduduk untuk menentangnya tidak membuahkan hasil apa-apa. Maka tatkala dari tapal batas kerajaan-kerajaan itu bergema suara takbir dari pasukan-pasukan yang beriman: “Allahu Akbar, Allahu Akbar.”, mereka pun dengan berduyun-duyun segera menuju fajar yang baru terbit itu lalu memeluk Agama Islam yang dengannya mereka menemukan kebebasan mereka dari kekuasaan kisra maupun kaisar.
Jika demikian halnya, Amr bin ‘Ash bersama anak buahnya tidaklah menaklukkan Mesir. Mereka hanyalah merintis serta membuka jalan bagi Mesir agar dapat mencapai tujuannya dengan kebenaran dan mengikat norma dan peraturan-peraturannya dengan  keadilan,  serta  menempatkan  diri  dan  hakikatnya dalam cahaya kalimat-kalimat Ilahi dan dalam prinsip-prinsip Islami.
Amr bin ‘Ash, amat berharap sekali akan dapat menghindarkan penduduk Mesir dan orang-orang Kopti dari peperang agar pertempuran terbatas antaranya dengan tentara Romawi saja, yang telah menduduki negeri orang secara tidak sah, dan mencuri harta penduduk dengan sewenang-wenang. Oleh sebab itulah kita dapati ia berbicara ketika itu kepada pemuka-pemuka golongan Nasrani dan uskup-uskup besar mereka, katanya: “Sesungguhnya Allah  telah  mengutus Muhammad membawa kebenaran dan menitahkan kebenaran itu. Dan sesungguhnya beliau telah menunaikan tugas risalahnya kemudian berpulang setelah meninggalkan kami di jalan lurus terang benderang.
Di antara perintah-perintah yang disampaikannya kepada kami ialah memberikan kemudahan bagi manusia. Maka kami menyeru kalian kepada Islam. Barang siapa yang memenuhi seruan kami, maka ia termasuk golongan kami, beroleh hak seperti hak-hak kami dan memikul kewajiban seperti kewajiban-kewajiban kami, dan barang siapa yang tidak memenuhi seruan kami itu, kami tawarkan membayar pajak, dan kami berikan padanya keamanan serta perlindungan. Dan sesungguhnya Rasulullah kami telah memberitakan bahwa Mesir akan menjadi tanggung jawab kami untuk membebaskannya dari penjajah, dan diwasiatkannya kepada kami agar berlaku baik terhadap penduduknya, sabdanya: ‘Sepeninggalku  nanti, Mesir, menjadi kewajiban kalian untuk membebaskannya, maka perlakukanlah penduduknya dengan baik, karena mereka masih mempunyai ikatan dan hubungan kekeluargaan dengan kita.’ ( HR. Muslim). Maka jika kalian memenuhi seruan kami ini, hubungan kita semakin kuat dan bertambah erat.”
Amr menyudahi ucapannya, dan sebagian uskup dan pendeta menyerukan: “Sesungguhnya hubungan silaturrahmi yang diwasiatkan Nabimu itu adalah suatu pendekatan dengan pandangan jauh, yang tak mungkin disuruh hubungkan kecuali  oleh Rasulullah.”
Percakapan ini merupakan permulaan yang baik untuk tercapainya saling pengertian yang diharapkan antara Amr dan orang Kopti penduduk Mesir, walau panglima-panglima Romawi berusaha untuk menggagalkannya.
Amr bin ‘Ash tidaklah termasuk angkatan pertama yang masuk Islam. Ia baru masuk Islam bersama Khalid bin Walid tidak lama sebelum dibebaskannya kota Mekah. Anehnya keislamannya itu diawali dengan bimbingan Negus raja Habsyi. Sebabnya ialah karena Negus ini kenal dan menaruh rasa hormat terhadap Amr yang sering bolak-balik ke Habsyi dan mempersembahkan barang-barang berharga sebagai hadiah bagi raja. Di waktu kunjungannya yang terakhir ke negeri itu, tersebutlah berita munculnya Rasul yang menyebarkan tauhid dan akhlaq mulia di tanah Arab.
Hadits tersebut memberi petunjuk bahwa orang-orang Kopti di Mesir merupakan paman-paman dari Ismail. Karena ibunda Ismail Siti Hajar seorang wanita warga Mesir, diambil oleh Ibrahim shallallahu ‘alaihi wasallam. menjadi isterinya, sewaktu ia datang ke Mesir dan diberi hadiah oleh Fir’aun dan kemudian melahirkan Ismail.
Maharaja Habsyi itu menanyakan kepada ‘Amr radhiyallahu ‘anhu kenapa ia tak hendak beriman dan mengikutinya, padahal orang itu benar-benar utusan Allah? “Benarkah begitu?” tanya ‘Amr kepada Negus. “Benar”, ujar Negus, “Turutlah petunjukku, hai ‘Amr dan ikutilah dia. Sungguh dan demi Allah, ia adalah di atas kebenaran dan akan mengalahkan orang-orang yang menentangnya.”  Secepatnya ‘Amr terjun mengarungi lautan kembali ke kampung halamannya, lalu mengarahkan langkahnya menuju Madinah untuk menyerahkan diri kepada Allah.
Dalam perjalanan ke Madinah itu ia bertemu dengan Khalid bin Walid dan Utsman bin Thalhah, yang juga datang dari Mekah dengan maksud hendak bai’at kepada Rasulullah. Demi Rasulullah melihat ketiga orang itu datang, wajahnya pun berseri-seri, lalu katanya pada shahabat-shahabatnya :  “Mekkah telah melepas jantung-jantung hatinya kepada kita.”  Mula-mula tampil Khalid dan mengangkat bai’at. Kemudian majulah ‘Amr dan katanya:  ”Wahai Rasulullah, aku akan bai’at kepada Anda, asal saja Allah mengampuni dosa-dosaku yang terdahulu.” Maka jawab Rasulullah: “Hai ‘Amr. Bai’atlah, karena Islam menghapus dosa-dosa yang sebelumnya.”  ‘Amr pun bai’at, dan diletakkannya kecerdikan dan keberaniannya dalam darmabaktinya kepada Agamanya yang baru.
Tatkala Rasulullah berpindah ke Rafiqul A’la, ‘Amr sedang berada di Oman menjadi gubernurnya. Dan di masa pemerintah Umar, jasa-jasanya dapat disaksikan dalam peperangan-peperangan di Syria, kemudian dalam membebaskan Mesir dari penjajahan Romawi.
Wahai, kenapa ‘Amr bin ‘Ash tidak menahan ambisi pribadinya untuk dapat berkuasa. Seandainya demikian, tentulah ia akan dapat mengatasi dengan mudah sebagian kesulitan yang dialaminya disebabkan ambisinya ini.  Tetapi ambisinya ingin berkuasa ini, sampai suatu batas tertentu, hanyalah merupakan gambaran lahir dari tabiat bathinnya yang bergejolak dan dipenuhi bakat. Bahkan bentuk tubuh, cara berjalan dan bercakapnya, memberi isyarat bahwa ia diciptakan untuk menjadi amir atau penguasa. Hingga pernah diriwayatkan bahwa pada suatu hari Umar bin Khatthab melihatnya datang. Ia tersenyum melihat caranya berjalan itu, lalu katanya: “Tidak pantas bagi Abu Abdillah untuk berjalan di muka bumi kecuali sebagai amir.”
Sungguh, sebenarnya ‘Amr atau Abu Abdillah tidak mengurangkan hak dirinya ini. Bahkan ketika bahaya-bahaya besar datang mengancam kaum muslimin, ‘Amr menghadapi peristiwa-peristiwa itu dengan cara seorang amir, seorang amir yang cerdik dan licin serta berkemampuan, menyebabkannya percaya akan dirinya, serta yakin akan keunggulannya. Tetapi di samping itu ia juga memiliki sifat amanat, menyebabkan Umar bin Khatthab, seorang yang terkenal amat teliti dalam  memilih gubernur-gubernurnya, menetapkannya sebagai gubernur di Palestina dan Yordania, kemudian di Mesir selama hayatnya Amirul Mu’minin ini.
Bahkan ketika Amirul Mu’minin mengetahui bahwa ‘Amr, dalam kesenangan hidup telah melampaui batas yang telah digariskannya terhadap para pembesamya, dengan tujuan agar taraf hidup mereka setingkat  atau hampir setingkat dengan taraf hidup umumnya rakyat  biasa, maka khalifah tidaklah memecatnya, hanya mengirimkan Muhammad bin Maslamah dan memerintahkannya agar membagi dua semua harta dan barang ‘Amr, lalu meninggalkan untuknya separohnya, sedang yang separuhnya iagi hendaklah dibawanya ke Madinah untuk Baitul Mal.
Seandainya Amirul Mu’minin mengetahui bahwa ambisi ‘Amr terhadap kekuasaan sampai menyebabkannya agak lalai terhadap tanggung jawabnya, tentulah jiwanya yang waspada itu tidak akan membiarkannya memegang kekuasaan walau agak sekejap pun.
‘Amr bin ‘Ash adalah seorang yang berfikiran tajam, cepat tanggap dan jauh pandang. Hingga Amirul Mu’minin Umar, setiap ia melihat seorang yang singkat akal, dipertepukkannya kedua telapak tangannya dengan keras karena herannya, Seraya katanya: “Subhanallah! Sesungguhnya Pencipta orang ini dan Pencipta ‘Amr bin ‘Ash hanyalah Tuhan Yang Tunggal, keduanya sama benar.”
Di samping itu ia juga seorang yang amat berani dan berkemauan keras.  Pada beberapa peristiwa dan suasana, keberaniannya itu disisipinya dengan kelihaiannya, hingga disangka orang ia sebagai pengecut atau penggugup. Padahal itu tiada lain dari tipu muslihat yang istimewa yang oleh ‘Amr digunakannya secara tepat dan dengan kecerdikan mengagumkan untuk membebaskan dirinya dari bahaya yang mengancam.
Amirul Mu’minin Umar mengenal bakat dan kelebihannya ini sebaik-baiknya, serta menghitungkannya dengan sepatutnya. Oleh sebab itu sewaktu ia dikirimnya ke Syria sebelum pergi ke Mesir, dikatakan orang kepada Umar bahwa tentara Romawi dipimpin oleh Arthabon, maksudnya panglima yang lihai dan gagah berani. Jawaban Umar ialah: “Kita hadapkan arthabon Romawi kepada arthabon Arab, dan baiklah kita saksikan nanti bagaimana akhir kesudahannya Ternyata bahwa pertarungan itu berkesudahan dengan kemenangan mutlak bagi arthabon Arab dan ahli tipu muslihat mereka yang ulung ‘Amr bin ‘Ash, sehingga arthabon Romawi, meninggalkan tentaranya menderita kekalahan dan meluputkan diri ke Mesir, yang tak lama antaranya akan disusul oleh ‘Amr ke negeri itu untuk membiarkan bendera dan panji-panji Islam di angkasanya yang aman damai.
Tidak sedikit peristiwa, di mana kecerdikan dan kelicinan ‘Amr menonjol dengan gemilang. Dalam hal ini kita tidak memasukkan perbuatan sehubungan dengan Abu Musa al-’Asy’ari pada peristiwa tahkim, yakni ketika kedua mereka menyetujui bahwa masing-masing akan menanggalkan Ali dan Mu’awiyah dari jabatan mereka, agar urusan itu dikembalikan kepada kaum muslimin untuk mereka musyawarahkan bersama. Ternyata Abu Musa melaksanakan hasil persetujuan tersebut, sementara ‘Amr tidak melaksanakannya.
Sekiranya kita ingin menyaksikan bagaimana kelicinan serta kesigapan tanggapnya, maka pada peristiwa yang dialaminya bersama komandan benteng Babilon di saat peperangannya dengan orang-orang Romawi di Mesir, atau menurut riwayat-riwayat lain, bersama arthabon Romawi di pertempuran Yarmuk di Syria. Yakni ketika ia diundang oleh komandan benteng atau oleh arthabon untuk berunding, dan sementara itu komandan Romawi telah menyuruh beberapa orang anak buahnya untuk menggulingkan batu besar ke atas kepalanya sewaktu ia hendak pulang meninggalkan benteng itu, sementara segala sesuatu dipersiapkan, agar rencana tersebut dapat berjalan lancar dan menghasilkan apa yang dimaksud mereka.
‘Amr pun berangkat menemui komandan, tanpa sedikit pun menaruh curiga, dan setelah berunding mereka berpisahlah. Tiba-tiba dalam perjalanannya ke luar benteng, terkilaslah olehnya di atas tembok, gerakan yang mencurigakan, hingga membangkitkan gerakan refleknya dengan amat cepatnya, dan dengan tangkas berhasil menghindarkan diri dengan cara yang mengagumkan.
Dan sekarang ia kembali mendapatkan komandan benteng dengan langkah-langkah yang tepat dan tegap serta kesadaran tinggi yang tak pernah goyah, seolah-olah ia tak dapat dikejutkan oleh sesuatu pun dan tidak dapat dipengaruhi oleh rasa curiga Kemudian ia masuk ke dalam, lalu katanya kepada komandan: “timbul dalam hatiku suatu fikiran yang ingin kusampaikan kepada anda sekarang ini. Di pos komandoku sekarang ini sedang menunggu segolongan shahabat Rasulullah angkatan pertama masuk Islam, yang pendapat mereka biasa didengar oleh Amirul Mu’minin untuk mengambil sesuatu keputusan penting. Bahkan setiap mengirim tentara, mereka selalu diikutsertakan untuk mengawasi tindakan tentara dan langkah-langkah yang mereka ambil. Maka maksudku hendak membawa mereka ke sini agar dapat mendengar dari mulut anda apa yang telah kudengar, hingga mereka beroleh penjelasan yang sebaik-baiknya mengenai urusan kita ini.”
Komandan Romawi itu secara bersahaja maklum karena nasib mujurnya, ‘Amr lolos dari lobang jarum, dengan sikap gembira ia menyetujui usul ‘Amr, hingga bila ‘Amr nanti kembali dengan sejumlah besar pimpinan dan panglima Islam pilihan, ia akan dapat menjebak mereka semua, daripada hanya ‘Amr seorang Dan secara sembunyi-sembunyi hingga tidak diketahui oleh ‘Amr, dipertahankannyalah untuk tidak mengganggu ‘Amr dan menyiapkan kembali perangkap yang disediakan untuk panglima Islam tadi, guna menghabisi para pemimpin mereka yang utama.
Lalu dilepasnya ‘Amr dengan besar hati, dan disalaminya amat hangat sekali, disambut oleh ahli siasat dan tipu muslihat Arab itu dengan tertawa dalam hati. Dan di waktu subuh keesokan harinya, dengan memacu kudanya yang meringkik keras dengan nada bangga dan mengejek, ‘Amr kembali memimpin tentaranya menuju benteng.  Memang, kuda itu merupakan suatu makhluq lain yang banyak mengetahui kelihaian dan kecerdikan tuannya.
Dan pada tahun ke-43 Hijrah, wafatlah ‘Amr bin ‘Ash di Mesir, sewaktu ia menjadi gubernur di sana. Di saat-saat kepergiannya itu, ia  mengemukakan  riwayat  hidupnya, itu secara bersahaja maklum bahwa kepergiannya katanya: “Pada mulanya aku ini seorang kafir, dan orang yang amat keras sekali terhadap Rasulullah hingga seandainya aku meninggal pada saat itu, pastilah masuk neraka. Kemudian aku bai’at kepada Rasulullah, maka tak seorang pun di antara manusia yang lebih kucintai, dan lebih mulia dalam pandangan mataku, daripada beliau. Dan seandainya aku diminta untuk melukiskannya, maka aku tidak sanggup karena disebabkan hormatku kepadanya, aku tak kuasa menatapnya sepenuh mataku.
Maka seandainya aku meninggal pada saat itu, besar harapan akan menjadi penduduk surga Kemudian setelah itu, aku diberi ujian dengan beroleh kekuasaan begitupun dengan hal-hal lain. Aku tidak tahu, apakah ujian itu akan membawa keuntungan bagi diriku ataukah kerugian.”
Lalu diangkatnya kepalanya ke arah langit dengan hati yang tunduk, sambil bermunajat kepada Tuhannya Yang Maha Besar lagi Maha Pengasih, katanya: “Ya Allah, daku ini orang yang tak luput dari kesalahan, maka mohon dimaafkan Daku tak sunyi dari kelemahan, maka mohon diberi pertolongan. Sekiranya daku tidak beroleh rahmat karunia-Mu, pasti celakalah nasibku.”
Demikianlah ia asyik dalam bermohon dan berhina diri hingga akhirnya ruhnya naik ke langit tinggi, di sisi Allah, sementara akhir ucapan penutup hayatnya, ialah : “La ilaha illallah” Di pangkuan bumi Mesir, negeri yang diperkenalkannya dengan ajaran Islam itu, bersemayamlah tubuh kasamya.
Dan di atas tanahnya yang keras, majlisnya yang selama ini digunakannya untuk mengajar, mengadili dan mengendalikan pemerintahan, masih tegak berdiri melalui kurun waktu, dinaungi oleh atap masjidnya yang telah berusia lanjut “Jami’u ‘Amr”, yakni mesjid yang mula pertama didirikan di Mesir, yang disebut di dalamnya asma Allah Yang Tunggal lagi Esa serta dikumandangkan ke setiap pojoknya dari atas mimbarnya kaiimat-kalimat Allah serta pokok-pokok Agama Islam.

Diolah dari berbagai sumber.
Kode Iklan Anda disini

MANAJEMEN RASULULLAH SAW DALAM BIDANG PENDIDIKAN

05 Des
Mengkaji perjalanan hidup Rasulullah Saw adalah bagaikan mengarungi lautan yang tidak bertepi karena sangat luas, sangat kaya, dan mencerahkan. Keluasan suri teladan Rasulullah Saw mencakup semua aspek kehidupan. Manfaat mengkaji sirah Rasulullah Saw adalah agar setiap muslim memperoleh gambaran tentang hakikat Islam secara paripurna, yang tercermin di dalam kehidupan Nabi Muhammad Saw, sesudah ia dipahami secara konseptional sebagai prinsip, kaidah dan hukum. Kajian Sirah Rasulullah Saw hanya merupakan upaya aplikatif yang bertujuan memperjelas hakikat Islam secara utuh dalam keteledanannya yang tertinggi, Nabi Muhammad Saw.
Bangsa dan umat ini membutuhkan suri teladan yang layak untuk ditiru dan sanggup membawa setiap insan Indonesia lebih maju dan lebih bermartabat. Indonesia membutuhkan teladan hampir dalam semua spektrum kehidupan, terutama dalam dunia pendidikan, sangat membutuhkan figur pendidik dan tenaga kependidikan dalam mengelola pendidikan dan memperlakukan siswa sebagai orgasma yang tumbuh dan perlu diperhatikan dari waktu ke waktu. Karena memang pendidikan sejatinya merupakan proses transformasi nilai dan budi pekerti bukan sekedar transmisi informasi dan data belaka.
Indonesia membutuhkan suri teladan leadership dan manajemen yang meyakini bahwa jabatan adalah tanggung jawab dunia akhirat dan bukan kemegahan serta peluang untuk menambah kekayaan semata dengan berbagai cara. Teladan kepemimpinan itu sesungguhnya terdapat pada diri Rasulullah Saw, karena beliau adalah pemimpin yang holistic, accepted, dan proven. holistic (menyeluruh) karena beliau adalah pemimpin yang mampu mengembangkan leadership dalam berbagai bidang termasuk salah satunya yaitu pendidikan yang bermoral dan mencerahkan. Accepted (diterima) karena diakui lebih dari 1,3 miliar manusia. Dan proven (terbukti) karena sudah terbukti sejak lebih dari 15 abad yang lalu hingga hari ini masih relevan diterapkan.
Sejarah mencatat Rasulullah Saw telah menanamkan kasih sayang dalam kepemimpinanya. Jelas, bagaimana cara beliau memimpin, berinteraksi dan mendidik pengikutnya. Tak heran, kejayaan Islam pertama di pegang oleh tokoh-tokoh yang tidak diragukan lagi kapabilitasnya. Kita bisa melihat bagaimana ‘preman pasar’ semacam Umar bin Khattab yang kemudian menjadi kepala negara yang susah dicari tandingannya di masa sekarang atau Khalid bin Walid menjelma menjadi seorang panglima perang dari hanya seorang ‘jagoan kampung’. Dan hamba sahaya semacam Salman Al Farisi yang sebelumnya hanya mengenal cara menanam dan merawat kurma di Madinah bisa menjadi gubernur yang sukses di Persia. Serta  bagaimana pengembala kambing seperti Abdullah bin Mas’ud bisa menjadi ‘guru’ dan ahli tafsir al Qur’an.
Rasulullah Saw adalah teladan yang baik dalam berbagai aspek kehidupan. Salah satu dimensi dari kesuksesan Rasulullah Saw dalam manajemen dalam bidang pendidikan. Memang, beliau adalah seorang yatim yang tidak mendapatkan pendidikan sekolah yang mengajarkannya baca tulis, namun beliau sangat menekankan pentingnya pendidikan untuk meningkatkan kualitas manusia. Beliau tidak pernah mengenyam pendidikan di pusat-pusat pendidikan Yunani dan diasuh oleh para filosof, namun pemikiran yang beliau hasilkan mampu menjawab berbagai persoalan manusia.
Tidak ada manusia yang demikian sempurna dapat diteladani karena di dirinya terdapat berbagai sifat mulia. Di samping itu, Rasulullah Saw juga pernah mengalami berbagai keadaan dalam hidupnya. Beliau pernah merasakan hidup yang susah sehingga dapat menjadi teladan bagi orang-orang yang sedang mengalami kesulitan hidup. Beliau juga pernah menjadi orang kaya, sehingga dapat jadi teladan bagaimana seharusnya menggunakan kekayaan. Beliau pernah menjadi manajer atau pemimpin di berbagai bidang sehingga kita dapat meneledani manajerial beliau.
Rasulullah Saw sebagai Perencana (Planning)
Perencanaan adalah aktivitas memikirkan dan memilih rangkaian tindakan-tindakan yang tertuju pada tercapainya maksud-maksud dan tujuan pendidikan. Dan dalam proses perencanaan, terdapat beberapa tahap, yaitu: 1) identifikasi masalah, 2) perumusan masalah, 3) penetapan tujuan, 4) identifikasi alternatif, 5) pemilihan alternatif, dan 6) elaborasi alternatif.
Sudah menjadi kebiasaan orang-orang Arab masa itu bahwa sebagian golongan mereka berpikir selama beberapa waktu tiap tahun untuk menjauhkan diri dari keramaian orang, berkhalwat dan mendekatkan diri kepada Tuhan-tuhan mereka dengan bertapa dan berdoa, mengharapkan diberi rezeki dan pengetahuan. Rasulullah Saw juga mengasingkan diri di gua Hira’. Di tempat ini rupanya beliau mendapat tempat yang paling baik guna mendalami pikiran dan renungan yang berkecamuk dalam dirinya.
Tujuan Rasulullah Saw berkhalwat dan bertafakkur dalam gua Hira’ tersebut adalah untuk mengidentifikasi masalah yang terjadi pada masyarakat Mekkah. Selain itu, beliau juga mendapatkan ketenangan dalam dirinya serta obat penawar hasrat hati yang ingin menyendiri, mencari jalan memenuhi kerinduannya yang selalu makin besar, dan mencapai ma’rifat serta mengetahui rahasia alam semesta.
Pada usia 40 tahun, Rasulullah Saw menerima wahyu pertama. Jibril memeluk tubuh Rasulullah Saw ketika beliau ketakutan. Tindakan Jibril tersebut merupakan terapi menghilangkan segala perasaan takut yang terpendam di lubuk hati beliau. Pelukan erat itu mampu membuat Rasulullah Saw tersentak walau kemudian membalasnya. Sebuah tindakan refleks yang melambangkan sikap berani. Setelah kejadian itu, Rasulullah Saw tidak pernah dihinggapi rasa takut, apalagi bimbang dalam menyebarkan Islam ke seluruh pelosok dunia.
Pendidikan Islam mempunyai kedudukan yang tinggi, ini dibuktikan dengan wahyu pertama di atas yang disampaikan Rasulullah Saw bagi pendidikan. Beliau menyatakan bahwa pendidikan atau menuntut ilmu itu wajib bagi setiap orang, laki-laki dan perempuan. Rasulullah Saw diutus dengan tujuan untuk menyempurnakan akhlak manusia. Itulah yang menjadi visi pendidikan pada masa Rasulullah Saw.
Selain itu, ketika Rasulullah Saw menentukan tempat hijrah pertama untuk para sahabatnya ke Ethiopia (Habasyah), tampak sekali bahwa hal itu tidak lahir dari sebuah gagasan yang datang tiba-tiba tanpa perencanaan dan pertimbangan yang matang terhadap situasi dan kondisi geopolitik dan keagamaan di wilayah tersebut.  Pemilihan Ethiopia yang secara geografis tidak masuk bagian Jazirah Arab dan cukup jauh dari Mekkah bahkan dibatasi oleh laut memungkinkan para sahabat Rasulullah Saw yang berhijrah tidak terkejar oleh kaum Quraisy yang saat itu memiliki pengaruh dan kekuatan cukup besar. Rasulullah Saw juga tidak meminta para sahabat untuk pergi ke tempat yang lebih jauh lagi sehingga justru mempersulit para muhajirun dan menyebabkan terputusnya kabar dari mereka. Ethiopia saat itu berada di bawah kekuasaan seorang pemimpin yang dikenal cukup bijak dan adil sehingga menjamin keamanan para muhajirun. Situasi keagamaan di wilayah itu juga cukup kondusif, karena raja dan penduduknya memeluk agama Nasrani yang secara psikologis relatif lebih memiliki kedekatan dibanding dengan kaum pagan.
Demikian pula dengan proses perjalanan hijrah Rasulullah Saw ke Madinah mengungkapkan ketelitian dan kecermatan perencanaan yang dilakukan oleh beliau. Dalam proses hijrah ke Madinah Munir Muhamad Ghadlban mencatat sejumlah point penting perencanaan Rasulullah Saw seperti pemilihan waktu keluar Mekkah di siang hari di bawah terik matahari dengan menutup muka di saat kebanyakan orang sedang malas ke luar rumah, pembelian dua binatang kendaraan perjalanan empat bulan sebelumnya, penyiapan bekal Asma’ binti Abu Bakar, keluar rumah Abu Bakar tidak melalui pintu yang biasanya, menugaskan Abdullah ibn Abu Bakar sebagai pengumpul informasi, penunjukan Abdullah Ibn Uraqit yang non-muslim sebagai pemandu terpercaya, menggunakan jalur perjalanan yang tidak biasa dilalui manusia, menjadikan gua Tsur sebagai tempat transit dan lain-lain.
Hijrah ke Madinah adalah hijrah yang paling utama sewaktu umat Islam dihina dan disiksa di Mekkah. Ketika itu umat Islam menunggu perintah berhijrah dari Allah mengenai kebenaran berhijrah. Meskipun izin sudah didapat, Rasulullah Saw tidak segera melaksanakan hijrah. Beliau terlebih dahulu memikirkan dan merumuskan manajemen yang rapi dan strategi yang tepat sehingga pelaksanaan hijrah bisa berhasil dilakukan dengan lancar dan sukses.
Perencanaan ini berguna untuk menetapkan tujuan yang jelas. Selain itu, keberadaan tujuan juga berfungsi untuk menentukan tindakan yang sesuai agar mencapai tujuan itu. Sebelum melakukan hijrah, Rasulullah Saw dibantu para sahabatnya merumuskan rencana perjalanan ke Madinah dengan rapi, termasuk memikirkan cara-cara yang perlu dilakukan kalau ada perlawanan dari kaum kafir Qurasiy. Beberapa strategi yang dirumuskan Rasulullah Saw bersama para sahabatnya antara lain: 1) Pelaksanaan hijrah dilakukan pada waktu malam hari; 2) Jalur hijrah melewati jalan alternatif; 3) Saat berhijrah, para sahabat tidak membawa harta benda yang akan menimbulkan kecurigaan dari penduduk Mekkah; 4) Sebelum berangkat, harus dipastikan terlebih dahulu bahwa penduduk Madinah bersedia menerima para sahabat sebagaimana yang mereka nyatakan saat Perjanjian Aqabah I dan II.
Pelaksanaan hijrah jelas ditunjukkan untuk memelihara akidah dan menjaganya agar tidak lagi tercampur dengan amalan menyembah berhala. Oleh karena itu, seyogianya juga manajer atau pemimpin pendidikan mempunyai niat yang jelas pada bidang pendidikan yang akan digelutinya.
Pada masa-masa awal dakwah Rasulullah Saw, tepatnya pada tahun kelima kenabian Rasulullah Saw menjadikan sebuah rumah milik al Arqam ibn al Arqam al Makhzumi sebagai tempat pertemuan beliau dengan para sahabatnya yang saat itu merupakan minoritas yang senantiasa dijadikan objek tekanan dan penindasan kaum kafir Quraisy.
Menurut analisis, setidaknya ada tiga alasan penting pemilihan rumah al Arqam, antara lain:
  1. Al Arqam bernaung di bawah klan Bani Makhzum yang merupakan musuh tradisional Bani Hasyim. Dengan alasan ini, akan sangat sulit bagi kaum kafir membayangkan bahwa Rasulullah Saw yang datang dari klan Bani Hasyim justru menggunakan rumah anggota klan Bani Makhzum.
  2. Saat itu usia al Arqam ibn al Arqam masih sangat belia, yakni baru berusia 16 tahun, sehingga anggapan kaum kafir akan sulit mengerti bagaimana sebuah rumah milik seorang anak muda belia akan dijadikan pusat dakwah oleh Rasulullah Saw.
  3. Keislaman al Arqam masih belum diketahui siapapun kecuali oleh kalangan umat Islam saat itu saja.
Pada tahun ke-6 Hijriyah, Rasulullah Saw bersama 1.500 kaum Muslim berangkat dari Madinah ke Mekkah dengan maksud hendak berumrah. Namun, kafir Quraisy mencegat rombongan itu di tempat bernama Hudaibiyyah. Di tempat itulah terumuskan perjanjian tertulis antara kafir Quraisy dengan kaum Muslim yang disebut dengan Perjanjian Hudaibiyyah (shulhul Hudaibiyyah).
Dari perjanjian tersebut terkesan Rasulullah Saw kalah dalam berdiplomasi dan terpaksa menyetujui beberapa hal yang berpihak kepada kafir Quraisy. Kesan tersebut ternyata terbukti sebaliknya setelah perjanjian tersebut disepakati. Disinilah terlihat kelihaian Rasulullah Saw dan pandangan beliau yang jauh ke depan.
Rasulullah Saw adalah insan yang selalu mengutamakan kebaikan yang kekal dibandingkan kebaikan yang hanya bersifat sementara. Walaupun perjanjian itu amat berat sebelah, Rasulullah Saw menerimanya karena memberikan manfaat di masa depan saat umat Islam berhasil membuka kota Mekkah (fath al Makkah) pada tahun ke-8 Hijriyah (dua tahun setelah perjanjian Hudaibiyah).
Penghargaan dan perlindungan Hak Asasi Manusia yang dideklarasikan PBB dan dunia barat pada abad 20 sebenarnya sudah dicetuskan dan diberlakukan pada saat Rasulullah Saw hijrah ke Madinah dengan menghargai semua golongan dan kepercayaan, sehingga semua orang yang tinggal di kota Madinah merasa aman dan saling menghargai. Dan secara administratif ditetapkan di dalam Piagam Madinah (Madeena Charter).
Rasulullah Saw sebagai Pengorganisir (Organizing)
Istilah organisasi mempunyai dua pengertian umum, yang pertama pengorganisasian diartikan sebagai suatu lembaga atau kelompok fungsional. Kedua merujuk pada proses pengorganisasian yaitu bagaimana pekerjaan diatur dan dialokasikan diantara para anggota, sehingga tujuan organisasi itu dapat dicapai secara efektif.
Pada masa Rasulullah Saw dan awal Islam terdapat beberapa lembaga yang menjadi central pendidikan. Tentu saja, lembaga-lembaga ini belum seperti lembaga-lembaga pendidikan formal atau seperti lembaga-lembaga pendidikan di Yunani. Namun, lembaga-lembaga ini telah turut serta dalam memajukan pendidikan masyarakat Muslim pada waktu itu. Lembaga-lembaga itu antara lain sebagai berikut.
Dar al Arqam
Rumah merupakan tempat pendidikan awal yang diperkenalkan ketika Islam mulai berkembang di Makkah. Rasulullah Saw menggunakannya sebagai tempat pertemuan dan pengajaran dengan para sahabat. Bilangan kaum Muslim yang hadir pada masa awal Islam ini masih sangat kecil, tetapi makin bertambah sehingga menjadi 38 orang yang terdiri dari golongan bangsawan Quraisy, pedagang dan hamba sahaya.
Di Dar al Arqam, Rasulullah Saw mengajar wahyu yang telah diterimanya kepada kaum Muslim. Beliau juga membimbing mereka menghafal, menghayati dan mengamalkan ayat-ayat suci yang diturunkan kepadanya.
Masjid
Fungsi masjid selain tempat ibadah, juga sebagai tempat penyebaran dakwah, ilmu Islam, penyelesaian masalah individu dan masyarakat, menerima duta-duta asing, pertemuan pemimpin-pemimpin Islam, bersidang, dan madrasah bagi orang-orang yang ingin menuntut ilmu khususnya tentang ajaran Islam.
Setelah hijrah ke Madinah, pendidikan kaum Muslim berpusat di masjid-masjid. Masjid Quba’ merupakan masjid pertama yang dijadikan Rasulullah Saw sebagai institusi pendidikan. Di dalam masjid, Rasulullah Saw mengajar dan memberi khutbah dalam bentuk halaqah di mana para sahabat duduk mengelilingi beliau untuk mendengar dan melakukan tanya-jawab berkaitan urusan agama dan kehidupan sehari-hari. Di antara masjid yang dijadikan pusat penyebaran ilmu dan pengetahuan ialah Masjid Nabawi, Masjidil Haram, Masjid Kufah, Masjid Basrah dan banyak lagi.
Al Suffah
Al Suffah merupakan ruang atau bangunan yang bersambung dengan masjid. Suffah dapat dilihat sebagai sebuah sekolah karena kegiatan pengajaran dan pembelajaran dilakukan secara teratur dan sistematik. Contohnya Masjid Nabawi yang mempunyai suffah yang digunakan untuk majelis ilmu. Lembaga ini juga menjadi semacam asrama bagi para sahabat yang tidak atau belum mempunyai tempat tinggal permanen. Mereka yang tinggal di suffah ini disebut Ahl al Suffah.
Kuttab
Kuttab didirikan oleh bangsa Arab sebelum kedatangan Islam dan bertujuan memberi pendidikan kepada anak-anak. Namun demikian, lembaga pendidikan tersebut tidak mendapat perhatian dari masyarakat Arab, terbukti karena sebelum kedatangan Islam, hanya 17 orang Quraisy yang tahu membaca dan menulis. Mengajar keterampilan membaca dan menulis dilakukan oleh guru-guru yang mengajar secara sukarela.
Rasulullah Saw juga tidak membuang-buang kesempatan untuk mencerdaskan masyarakat Madinah. Beliau sangat menyadari pentingnya kemampuan membaca dan menulis. Ketika perang Badar usai, terdapat sekitar 70 orang Quraisy Makkah menjadi tawanan. Rasulullah meminta masing-masing mereka mengajari 10 orang anak-anak dan orang dewasa Madinah dalam membaca dan menulis sebagai salah satu syarat pembebasan mereka. Dengan demikian, dalam kesempatan ini 700 orang penduduk Madinah berhasil dientaskan dari buta huruf. Angka ini kemudian terus membesar ketika masing-masing mereka mengajarkan kemampuan tersebut kepada yang lain.
Rasulullah Saw sebagai Pengembang Staf (Staffing)
Pengembangan staf (staffing) ini meliputi juga pengkaderan dan pendelegasian wewenang. Pengkaderan ini Rasulullah Saw lakukan terhadap beberapa orang sahabat yang beliau didik dalam keagamaan. Beliau juga mendelegasikan wewenang kepada beberapa orang sahabat yang telah diberinya ilmu yang mencukupi untuk menyampaikan dan mengajarkan ajaran Islam kepada mereka yang belum atau baru saja memeluk agama Islam.
Rasulullah Saw pernah mendelegasikan atau mengutus beberapa orang sebagai delegasi. Misalnya: Ja’far bin Abu Thalib diutus untuk memimpin kaum muslim yang hijrah ke Etiopia (Habasyah) dan menghadap kepada raja Negus.
Selain mengutus Ja’far bin Abu Thalib, Rasulullah Saw juga pernah mendelegasikan Mus’ab bin Umair ke Madinah (Yastrib) sebelum kaum muslim Mekkah hijrah ke Madinah, dengan tugas mengajarkan al Qur’an kepada mereka dan berbagai pengetahuan lainnya mengenai agama Islam. Pembinaan dan pendelegasian wewenang ini cukup efektif karena pada gilirannya mereka juga akan membentuk kader mereka sendiri-sendiri sehingga ajaran Islam semakin luas syiarnya.
Ketika Rasulullah Saw mengutus Ja’far bin Abu Thalib sebagai ketua delegasi umat Islam untuk menyampaikan dakwah kepada raja Najasi di Habasyah dan Mus’ab bin Umair sebagai ‘guru’ di Madinah. Bukan tanpa alasan Rasulullah Saw memilih Ja’far bin Abu Thalib dan Mus’ab bin Umair. Karena setelah dianalisis, keduanya adalah orang yang tepat untuk mengemban amanah tersebut.
Dikisahkan bahwa Rasulullah Saw mengkoordinasikan dan mendelegasikan berbagai tugas kepada beberapa sahabat sebelum pelaksanaan hijrah ke Madinah, di antaranya: Abu Bakar ditugaskan untuk menemani Rasulullah Saw, Ali bin Abu Thalib untuk tidur di kamar Rasulullah Saw, Abdullah bin Abu Bakar untuk menyampaikan berita dari Mekkah, Asma’ binti Abu Bakar ditugaskan untuk membawa bekal makanan saat beliau dan Abu Bakar berada di gua Tsur, Abdullah bin Uraiqat Al Laithi untuk penunjuk jalan, dan golongan Ansor juga ditugaskan untuk menyambut dan menjaga keselamatan golongan Muhajirin yang ikut hijrah ke Madinah.
Bukti lain, kecakapan Rasulullah Saw dalam mensinergikan berbagai potensi yang dimiliki oleh para pengikut beliau dalam mencapai suatu tujuan. Sebagai contoh dalam mengatur strategi perang Uhud, beliau menempatkan pasukan pemanah di puncak bukit untuk melindungi pasukan invantri. Beliau juga mempersaudarakan kaum Anshor dan Muhajirin dalam membangun masyarakat Madinah.
Rasulullah Saw sebagai Pemimpin (Leading)
Salah satu faktor kejayaan pendidikan Rasulullah Saw adalah karena beliau menjadikan dirinya sebagai model dan teladan bagi umatnya. Rasulullah Saw adalah al Qur’an yang hidup (the living Qur’an). Artinya, pada diri Rasulullah Saw tercermin semua ajaran Al-Qur’an dalam bentuk nyata. Beliau adalah pelaksana pertama semua perintah Allah dan meninggalkan semua larangan-Nya. Oleh karena itu, para sahabat dimudahkan dalam mengamalkan ajaran Islam yaitu dengan meniru perilaku Rasulullah Saw.
Sekolah atau sistem pendidikan Rasulullah Saw belum mengeluarkan pengakuan kelulusan melalui gelar atau ijazah. Nilai tertinggi murid-murid Rasulullah Saw terletak pada tingkat ketakwaan. Ukuran takwa terletak pada akhlak dan amal shaleh yang dilakukan oleh masing-masing sahabat. Dengan demikian, output sistem pendidikan Rasulullah Saw adalah orang yang langsung beramal dan berbuat dengan ilmu yang didapat karena Allah. Dengan sistem pendidikan yang demikian dan kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh para sahabat maka lahirlah generasi yang dikenal sebagai salafusshalih yang disebut-sebut sebagai generasi Islam terbaik.
Berbagai teori kepemimpinan yang dikemukakan oleh para guru leadership ditemukan para pribadi dan kepemimpinan Rasulullah Saw. Salah satu teori dikemukakan oleh Kets de Vries yang menyimpulkan dari penelitian klinisnya terhadap para pemimpin bahwa sebanyak prosentase tertentu dari para pemimpin itu mengembangkan kepemimpinan mereka karena dipengaruhi oleh trauma pada masa kecil mereka.
Rasulullah Saw mengalami masa-masa sulit di waktu kecilnya. Di usia dini beliau sudah menjadi yatim piatu. Pada usia kanak-kanak itu pula beliau harus mengembala ternak penduduk Mekkah. Di awal usia remaja beliau sudah mulai belajar berdagang dengan mengikuti pamannya Abu Thalib ke daerah-daerah sekitar Jazirah Arab.
Salah satu bukti kepemimpinan yang dikemukakan oleh para ‘guru’ kepemimpinan dan manajemen modern terdapat pada diri Rasulullah Saw. Misalnya, sifat-sifat dasar kepemimpinan menurut Warren Bennis, sebagai berikut:
  1. Guiding Visoner (visioner). Rasulullah Saw sering memberikan berita gembira mengenai kemenangan dan keberhasilan yang akan diraih pengikutnya dikemudian hari. Visi yang jelas ini mampu membuat para sahabat tetap sabar dan tabah meskipun perjuangan dan rintangan begitu berat.
  2. Passion (berkemampuan kuat). Berbagai cara yang dilakukan musuh-musuh Rasulullah Saw untuk menghentikan perjuangan beliau tidak berhasil. Beliau tetap sabar, tabah, dan sungguh-sungguh.
  3. Integrity (integritas). Rasulullah Saw dikenal memiliki integritas yang tinggi, berkomitmen terhadap apa yang dikatakan dan diputuskannya, dan mampu membangun tim yang tangguh.
  4. Trust (amanah). Rasulullah Saw dikenal sebagai orang yang sangat dipercaya (al Amin) dan ini diakui oleh sahabat-sahabat bahkan musuh-musuh beliau, seperti Abu Sufyan ketika ditanya Hiraklius (kaisar Romawi) tentang perilaku Rasulullah Saw.
  5. Curiosity (rasa ingin tahu). Hal ini terbukti bahwa wahyu pertama yang diturunkan adalah perintah untuk belajar (iqra’).
  6. Courage (berani). Kesanggupan memikul tugas kerasulan dengan segala resiko adalah keberanian yang luar biasa.
Rasulullah Saw sebagai Pengawas (Controlling)
Controlling atau pengawasan adalah proses pengawasan kinerja sebuah organisasi. Caranya, dengan mengevaluasi rencana awal dan kenyataan yang terjadi. Kalau ditemukan masalah, langkah-langkah perbaikan bisa dilakukan dengan cepat dan tepat. Oleh karena itu, dalam setiap pengawasan harus dibarengi dengan proses pemilihan solusi penyelesaian masalah (problem solving) yang terbaik. Dengan kata lain, pengawasan bersifat membimbing dan membantu mengatasi kesulitan dan bukan mencari kesalahan.
Sebagai salah satu bukti pengendalian Rasulullah Saw dan cara penyelesaian masalah, seperti dalam kisah berikut ini:
Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa ada seorang lelaki yang mempunyai masalah datang menghadap Rasulullah Saw. Ia berkata, “Ya Rasulullah, aku telah binasa.” Rasulullah Saw bertanya, “Apa yang terjadi?” Orang itu menjawab, “Saya mendatangi isteri saya di pagi hari bulan Ramadhan dan saya berpuasa.”
Memang benar ini masalah besar. Orang itu telah melakukan dosa yang sangat besar. Ia bersetubuh dengan isteri secara sengaja sewaktu berpuasa di bulan Ramadhan. Namun orang itu sungguh hebat. Ia berani mengakui kesalahannya itu di hadapan Rasulullah Saw. Lalu apa yang dilakukan Rasulullah Saw kepada orang itu?
Rasulullah Saw tidak bermuka masam atau marah. Beliau tidak memarahinya. Lelaki itu datang dengan rasa penyesalan dan ingin bertobat. Ia tidak datang dengan sikap membangkang. Ia datang berharap mendapat penyelesaian atas masalahnya.
Maka Rasulullah Saw bertanya, “Apakah kamu punya budak yang bisa dimerdekakan sebagai kafarat atas apa yang telah kamu lakukan?” Orang itu menjawab, “Tidak.” Rasulullah Saw bertanya lagi, “Apakah kamu mampu berpuasa dua bulan berturut-turut?” Lelaki itu menjawab, “Tidak.” Rasulullah Saw bertanya lagi, “Apakah engkau mampu memberi makan 60 orang fakir miskin?” Lelaki itu sekali lagi menjawab, “Tidak.”
Tiba-tiba terjadi kebuntuan. Lelaki itu tidak punya apapun yang bisa digunakan untuk membayar kafarat atas perbuatan dosanya itu. Ia terduduk pasrah atas keputusan yang akan ditetapkan Rasulullah Saw atasnya.
Tak lama kemudian, datang seseorang membawa sebakul kurma. Orang ini memberi kurma itu kepada Rasulullah Saw. Beliau memanggil lelaki yang melanggar aturan Allah itu. Kepada orang-orang yang berpuasa. Kepadanya Rasulullah Saw menyerahkan kurma itu. “Ambillah ini. Sedekahkan.” Orang itu malah bertanya, “Ya Rasulullah, apakah saya harus bersedekah kepada orang yang lebih miskin daripada saya? Demi Allah, tidak ada orang yang lebih miskin dari saya di Madinah ini.”
Mendengar itu Rasulullah Saw tertawa, beliau berkata, “Kalau begitu, berikan kurma itu untuk makan keluargamu.” Sungguh, betapa lebar senyum lelaki itu. Kafarat dosanya tertebus, keluarganya mendapat makanan.

SUMBER RUJUKAN:
Al Bukhari. Shahih Bukhari, Beirut, Libanon: Dar al-Fikr.1991
Al Ghazali, Muhammad. Fiqhus Sirah: Menghayati Nilai-nilai Riwayat Hidup Muhammad Saw. Abu Laila dan M. Thohir (terj.). Bandung: Al Ma’arif
Al Husaini, H.M.H. Al Hamid. Membangun Peradaban Sejarah Muhammad Saw, Sejak Sebelum Diutus Menjadi Nabi. Bandung: Pustaka Hidayah. 2000
_ _ _ _ _ _. Riwayat Kehidupan Nabi Besar Muhammad Saw. Bandung: Pustaka Hidayah. 2009
Al Jazairi, Abu Bakar Jabir. Muhammad, My Beloved Prophet. Jakarta: Qisthi Press. 2007
Al Mubarraqfury, Shafiyyurrahman. Sirah Nabawiyah. Jakarta: Pustaka Al Kautsar. 2007
Al Qaradlawi, Yusuf. Al-Rasūl wa al-`Ilm. Kairo: Dar al-Şahwah. t.th
Antonio, Muhammad Syafi’i. Muhammad Saw: The Super Leader Super Manager. Jakarta: Tazkia Publising. 2009
Bennis, Warren. 1994. On Becoming a Leader. Addison Wesley: New York
Cholil, Munawwar. Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad Saw. Jakarta: Gema Insani Press. 2001
Fairchild, Henry Pratt. Dictionary of Sociology and Related Sciences. New Jersey: Littlefield Adam & Co. Peterson
Ghadlban, Munir Muhamad. Fiqh al-Sirah al-Nabawiyah. Makkah: Umm al-Qura University, 1419 H
Haekal, Muhammad Husain. Sejarah Hidup Muhammad. Jakarta: Pustaka Jaya. 2008
Muslim, Shahih Muslim, Beirut, Libanon: Dar hya al-Turats. 1972
Shabban, Muhammad Ali. Teladan Suci Keluarga Nabi, Akhlak dan Keajaiban-keajaibannya. Bandung: Mizan Pustaka. 2005
Syalabi, Mahmud. Kepribadian Rasulullah. Abdul Kadir Mahdami (terj.). Solo: Pustaka Mantiq. 1997
Syariati, Ali. Rasulullah Saw, Sejak Hijrah Hingga Wafat: Tinjauan Kritis Sejarah Nabi Periode Madinah. Bandung: Pustaka Hidayah. 1996