'>

Senin, 13 Juni 2011

Kode Iklan Anda disini

RASULULLAH MENAHAN MARAH


Dalam kehidupan kita selalu saja ada sisi positif dan negatif dalam interaksi kita dengan sesama. Positif ketika interaksi kita tidak membawa kekecewaan, bahkan yang ada adalah saling tolong menolong sesama mukmin, saling sayang menyayangi sesama mukmin.  Dan negatif akan timbul, saat interaksi kita dengan orang lain membuahkan kekecewaan yang tidak jarang disertai dengan kemarahan.
Tidak ada manusia yang tak memiliki sifat amarah berapapun kadarnya.  Hanya saja, seberapa jauh, setiap orang memiliki kemampuan menahan dan mengendalikan sifat amarah dalam dirinya.  Sebagian orang mengatakan  marah adalah manusiawi, karena marah adalah bagian dari kehidupan kita. Tapi alangkah baiknya bila kita bisa menjadi pribadi yang bisa menahan marah dan kalaupun kita marah, maka marahnya kita tidak berlebihan.
Imam al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin mengatakan, “Barangsiapa tidak marah, maka ia lemah dari melatih diri. Yang baik adalah mereka yang marah namun bisa menahan dirinya.”
Tiga hal termasuk akhlak keimanan yaitu, orang yang jika marah, kemarahannya tidak memasukkanya ke dalam perkara batil,   jika senang maka kesenangannya tidak mengeluarkan dari kebenaran dan jika dia mampu dia tidak melakukan yang tidak semestinya. Maka wajib bagi setiap muslim menempatkan nafsu amarahnya terhadap apa yang dibolehkan oleh Allah, tidak melampaui batas terhadap apa yang dilarang sehingga nafsu amarahnya tidak mengarah kepada kemaksiatan, kemunafikan apalagi sampai kepada kekafiran.  Kita harus melatih diri kita agar tidak menjadi orang yang mudah marah dan menahan marah kita agar kemarahan kita tidak berlebihan.
Allah berfirman, “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya serta memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan (QS. Ali Imran :133-134).
Orang yang bertakwa adalah mampu menahan marah dengan tidak melampiaskan kemarahan walaupun sebenarnya ia mampu melakukannya. Kata al-Kazhimiin berarti penuh dan menutupnya dengan rapat, seperti wadah yang penuh dengan air, lalu ditutup rapat agar tidak tumpah. Ini mengisyaratkan bahwa perasaan marah, sakit hati, dan keinginan untuk menuntut balas masih ada, tapi perasaan itu tidak dituruti melainkan ditahan dan ditutup rapat agar tidak keluar perkataan dan tindakan yang tidak baik.
Rasulullah bersabda, “Orang kuat itu bukanlah yang menang dalam gulat tetapi orang kuat adalah yang mampu menahan nafsu amarahnya.” (HR. Bukhari Muslim).
Dari Ibnu Mas’ud Rasulullah bersabda, “Siapa yang dikatakan paling kuat diantara kalian?” Sahabat menjawab, “Yaitu diantara kami yang paling kuat gulatnya.” Beliau bersabda, “Bukan begitu, tetapi dia adalah yang paling kuat mengendalikan nafsunya ketika marah.” (HR. Muslim)
Dari Anas Al Juba’i, bahwa Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang mampu menahan marahnya padahal dia mampu menyalurkannya, maka Allah menyeru pada hari kiamat dari atas khalayak makhluk sampai disuruh memilih bidadari mana yang mereka mau.” (HR. Ahmad).
Dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah bersabda, “Tidaklah hamba meneguk tegukan yang lebih utama di sisi Allah, dari meneguk kemarahan karena mengharap wajah Allah Swt.” (HR. Ahmad).
Rasulullah bersabda, “Tidaklah seorang hamba menahan kemarahan karena Allah Swt kecuali Allah Swt akan memenuhi baginya keamanan dan keimanan.” (HR. Abu Dawud).
Dari Abu Hurairah, bahwa seseorang berkata kepada Rasulullah, “Berwasiatlah kepadaku.” Beliau bersabda, “Jangan menjadi seorang pemarah”. Kemudian diulang-ulang beberapa kali. Dan beliau bersabda, “janganlah menjadi orang pemarah.” (HR. Bukhari).
Rasulullah tidak pernah marah jika celaan hanya tertuju pada pribadinya dan beliau sangat marah ketika melihat atau mendengar sesuatu yang dibenci Allah, maka beliau tidak diam, beliau marah dan berbicara. Ketika Rasulullah melihat kelambu rumah Aisyah ada gambar makhluk hidupnya (yaitu gambar kuda bersayap) maka merah wajah Beliau dan bersabda, “Sesungguhnya orang yang paling keras siksaannya pada hari kiamat adalah orang membuat gambar seperti gambar ini.” (HR. Bukhari Muslim).
Dari Anas, “Aku membantu rumah tangga Rasulullah Saw selama 10 tahun, maka tidak pernah beliau berkata kepadaku ‘ah’, sama sekali. Beliau tidak berkata terhadap apa yang aku kerjakan, ‘mengapa kamu berbuat ini.’ Dan terhadap apa yang tidak kukerjakan, ‘tidakkah kamu berbuat begini’.”(HR. Bukhari Muslim).
Begitulah keadaan beliau senantiasa berada diatas kebenaran baik ketika marah maupun ketika dalam keadaan tidak marah. Dan demikianlah semestinya kita selalu di atas kebenaran ketika marah ataupun tidak marah.  Rasulullah bersabda, “Ya Allah, aku memohon kepada-Mu berbicara yang benar ketika marah dan ridha.” (HR. Nasa’i).
Aidh bin Abdullah Al-Qarni mengatakan, “Berhati-hatilah terhadap keributan, karena ia sangat melelahkan. Jauhilah sikap mencerca dan mencela, karena ia sangat menyiksa.”
Subhanallah, Maha Suci Allah…
Rasulullah adalah manusia yang juga mempunyai naluri untuk marah, tetapi bagaimana beliau marah sebagaimana dijelaskan di atas. Dengan demikian, setelah kita mengetahui keutamaan menahan marah, sekarang coba kita tanyakan dengan jujur pada diri kita sendiri, bagaimana kita kalau sedang marah selama ini? Apakah kita mampu menahan marah? Atau apakah saat marah kita tetap mampu menahan dan mengendalikan amarah kita hingga tidak berlebihan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar